Thursday, 3 November 2016

Analisis Kelayakan Pembiayaan

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Dua fungsi utama bank syari’ah adalah mengumpulkan dana dan menyalurkan dana. Penyaluran dana yang dilakukan bank syari’ah adalah pemberian pembiayaan kepada debitur yang membutuhkan, baik untuk modal usaha maupun untuk konsumsi. Praktik pembiayaan yang sebenarnya dijalankan oleh lembaga keuangan Islami adalah pembiayaan dengan sistem bagi hasil atau syirkah. Praktik syirkah ini terkemas dalam dua jenis pembiayaan, yaitu pembiayaan mudharabah (MDA) dan pembiayaan musyarakah (MSA). Jenis pembiayaan lainnya adalah terkemas dalam pembiayaan berakad/sistem jual beli, yaitu pembiayaan murabahah (MBA), bai as-salam dan bai istishna’.[1]
        Dalam dunia bank syari’ah praktik MDA dan MSA hingga saat ini masih belum menjadi primadona jenis pembiayaan, bahkan di beberapa lembaga pembiayaan praktik pembiayaan akad ini merupakan praktik yang dihindari atau katakanlah sebagai anak tiri. Mengapa ini terjadi? Secara pasti rasanya sulit untuk menjawabnya, namun dari hasil pengamatan dan kajian di lapangan ditemukan beberapa kendala stagnasi pembiayaan, antara lain:
·         Belum adanya manual teknis yang mampu memberikan petunjuk bagi pengelola untuk bertindak secara rasional
·         Trauma sejarah mudharabah dan musyarakah
·         Kelemahan sumberdaya manusia
·         Pengaruh praktik konvensional bank
Berdasarkan kendala-kendala tersebut di atas, maka perlu dilakukan langkah-langkah strategis yang dapat dijadikan dasar dalam melakukan analisis pembiayaan secara baik. Di bab selanjutnya akan dibahas secara lengkap berkenaan dengan analisis kelayakan pembiayaan.
2.      Rumusan Masalah
a.    Apa pengertian pembiayaan?
b.    Bagaimana prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha bank syariah?
c.    Bagaimana analisis kelayakan penyaluran dana?
d.   Bagaimana pemantauan dan pengawasan pembiayaan?
e.    Bagaimana penanganan pembiayaan bermasalah?
3.      Maksud dan Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui pengertian pembiayaan.
2.    Mengetahui prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha bank syariah.
3.    Mengetahui analisis kelayakan penyaluran dana.
4.    Mengetahui pemantauan dan pengawasan pembiayaan.
5.    Mengetahui penanganan pembiayaan bermasalah.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pembiayaan
Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan, yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit, pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan, seperti bank syari’ah, kepada nasabah. Dalam kondisi ini, arti pembiayaan menjadi sempit dan pasif. Tetapi bisa jadi penyempitan arti ini juga disebabkan karena keterbatasan pemahaman para pelaku bisnisnya. Dapat disimpulkan bahwa pembiayaan merupakan pendanaan, baik aktif maupun pasif, yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan kepada nasabah.
B.     Prinsip Kehati-hatian Dalam Kegiatan Usaha Bank Syariah
Apabila Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan belum secara eksplisit menentukan bahwa kegiatan-kegiatan bank bagi hasil harus pula memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian (prudential principle) yang untuk operasionalitasnya dijabarkan ke dalam rambu-rambu kesehatan bank (prudential standards) yang secara tegas diberlakukan bagi bank konvensional, maka dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 itu telah dengan tegas menentukan bahwa prinsip dan rambu-rambu tersebut harus pula diperhatikan dan dipatuhi oleh bank-bank yang melakukan kegiatannya berdasarkan Prinsip Syariah.
Kewajiban menerapkan prinsip prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha perbankan, secara tegas dinyatakan dalam ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menetapkan, bahwa “perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.” Oleh sebab itu, maka prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha perbankan harus dipegang teguh dan diterapkan dalam kegiatan usaha perbankan.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kembali mempertegas kewajiban Bank Syariah dan UUS untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dan kesehatan bank dalam melakukan kegiatan usahanya. Prinsip kehati-hatian merupakan pedoman pengelolaan Bank Syariah dan UUS dalam rangka mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 menetapkan, bahwa “perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.” Kewajiban menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian bagi Bank Syariah dan UUS mendapat penegasan dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 yang menetapkan, bahwa “Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.” Dengan demikian, jelas bahwa perbankan syariah diwajibkan pula dalam pengelolaan bank menerapkan prinsip kehati-hatian berdasarkan rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Selain itu, untuk memelihara kepercayaan masyarakat, perbankan syariah diwajibkan pula menjaga tingkat kesehatannya. Kewajiban perbankan syariah memelihara tingkat kesehatannya ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yang menetapkan, bahwa “Bank Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap prinsip syariah dan prinsip manajemen islami, serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah dan UUS.” Jadi, jelas bahwa perbankan syariah diwajibkan pula untuk memelihara dan selalu tetap menjaga tingkat kesehatannya berdasarkan rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Dengan diabaikannya rambu-rambu kesehatan bank oleh bank-bank yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah memberikan dampak kerugian yang jauh lebih besar daripada dilakukan oleh suatu bank konvensional. Ada paling sedikit dua alasan mengapa dampak tersebut lebih besar. Alasan pertama, karena risiko yang dihadapi oleh bank syariah, dalam hal pembiayaan diberikan berdasarkan akad mudharabah kepada nasabahnya, jauh lebih besar daripada risiko yang dihadapi oleh bank konvensional yang memberikan kredit dengan jaminan. Pada pembiayaan mudharabah, bank syariah sebagai prinsip syariah tidak boleh meminta agunan dari nasabah yang diberi pembiayaan. Dengan kata lain, sumber pelunasan kredit bagi bank konvensional selain berupa first way out, juga bank konvensional masih dapat mengandalkan second way out berupa agunan kredit dan penjaminan (guarantee) apabila first way out mengalami kegagalan.[2]
Alasan kedua, apabila terjadi kegagalan pada pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah, antara lain dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, nasabah tidak berkewajiban untuk mengembalikan dana bank tersebut. Pada transaksi mudharabah, bank syariahlah yang harus memikul risiko kehilangan dana yang telah diberikan oleh bank syariah kepada nasabah (mudharib) untuk diputarkan dalam kegiatan usaha nasabah, sedangkan risiko yang dipikul mudharib hanya berupa tidak memperoleh keuntungan dan remunerasi dari jerih payahnya dalam menjalankan dan mengelola usaha itu. Dengan kata lain, bank syariahlah yang harus memikul risiko finansial, sementara nasabah hanya memikul risiko nonfinansial.
Di samping menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan bank, perbankan syariah diwajibkan pula untuk tidak melakukan cara-cara yang dapat merugikan perbankan syariah (Bank Syariah dan UUS) serta nasabah yang mempercayakan dananya dalam melakukan kegiatan usahanya. Ketentuan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 secara tegas menyatakan, bahwa “dalam menyalurkan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan atau UUS dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya.” Pada dasarnya ketentuan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank.” Dengan demikian berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaiman telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, jelas bahwa perbankan syariah diwajibkan untuk menjamin kepentingan nasabah dan bank dari segala perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian ketika bank tidak menerapkan rambu-rambu kehati-hatian dan kesehatan bank dalam melakukan kegiatan penyaluran pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya.
Prinsip kehati-hatian ditujukan pada keamanan dan kesehatan lembaga keuangan dalam kaitannya dengan perlindungan nasabah khususnya dari kerugian nasabah yang timbul ketika institusi tersebut bangkrut, walaupun tidak menimbulkan dampak terhadap sistem keuangan. Pengaturan ketentuan kehati-hatian dan pelaksanaan pengawasan serta pemeriksaaan perbankan dilaksanakan karena nasabah tidak berada dalam posisi untuk menilai dan mengetahui keamanan serta kesehatan dari banknya serta tidak memiliki potensi yang lengkap tentang kegiatan usaha lembaga keuangannya.
Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah berkewajiban untuk menyampaikan kepada Bank Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Di dalam Penjelasan Pasal tersebut disebutkan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “prinsip akuntansi syariah yang berlaku umum” bagi laporan keuangan bank adalah standar akuntansi syariah yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.[3]
Sehubungan dengan pengaturan kewajiban penyampaian neraca dan perhitungan laba rugi tahunan untuk terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik adalah dapat ditentukan pengecualiannya oleh Bank Indonesia kepada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Dalam Penjelasan Pasal tersebut dinyatakan dalam memberikan pengecualian, Bank Indonesia memperhatikan kemampuan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang bersangkutan.
C.    Analisis Kelayakan Penyaluran Dana
Seperti diketahui, ketentuan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 menentukan, bahwa “dalam menyalurkan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan atau UUS dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya.” Agar penyaluran dana syariah tidak menimbulkan kerugian bagi Bank Syariah dan atau UUS dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 secara khusus menetapkan pedoman analisis kelayakan penyaluran dana kepada nasabah penerima fasilitas. Pedoman pembiayaan perbankan syariah dimaksud ditentukan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
        Menurut ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, Bank Syariah dan atau UUS harus mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan atau UUS menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas. Untuk memperoleh keyakinan dimaksud, Bank Syariah dan atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas.
        Dengan demikian, dari ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, jelas bahwa sebelum Bank Syariah dan atau UUS menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas, harus mempunyai keyakinan kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas melunasi seluruh kewajiban dan utang pada waktunya sesuai dengan disepakati antara bank dan calon nasabah penerima fasilitas. Kemauan berkaitan dengan iktikad baik dari nasabah penerima fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan atau UUS. Sementara itu, kemampuan berkaitan dengan keadaan dan atau aset nasabah penerima fasilitas, sehingga mampu untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan atau UUS.
Pada prinsipnya ketentuan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang mewajibkan Bank Umum dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan antara bank yang bertindak sebagai shahib al-maal dan nasabah yang bertindak sebagai mudharib.
        Dalam hal ini Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, mewajibkan pula Bank Umum Syariah untuk memiliki dan menerapkan pedoman pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pedoman analisis kelayakan penyaluran dana perbankan syariah didasarkan kepada penilaian yang saksama terhadap faktor-faktor di bawah ini.
1.      Penilaian watak/kepribadian (character)
Penilaian watak calon nasabah penerima fasilitas terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara Bank Syariah dan atau UUS dan nasabah atau calon nasabah yang bersangkutan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya sehingga Bank Syariah dan atau UUS dapat menyimpulkan bahwa calon Nasabah penerima fasilitas yang bersangkutan jujur, beriktikad baik, dan tidak menyulitkan Bank Syariah dan atau UUS di kemudian hari.
2.      Penilaian kemampuan (capacity)
Penilaian kemampuan calon nasabah penerima fasilitas terutama bank harus meneliti tentang keahlian nasabah penerima fasilitas dalam bidang usahanya dan atau kemampuan manajemen calon nasabah, sehingga Bank Syariah dan atau UUS merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dikelola oleh orang yang tepat.
3.      Penilaian modal (capital)
Penilaian terhadap modal yang dimiliki calon nasabah penerima fasilitas, terutama Bank Syariah dan UUS harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang akan datang sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon nasabah penerima fasilitas dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon nasabah yang bersangkutan.
4.      Penilaian agunan (colateral)
Dalam melakukan penilaian terhadap agunan, Bank Syariah dan atau UUS harus menilai barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang ditambahkan sebagai agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga apabila nasabah penerima fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali pembiayaan dari Bank Syariah dan atau UUS yang bersangkutan.
5.      Penilaian prospek usaha (condition of economy)
Penilaian terhadap proyek usaha calon nasabah penerima fasilitas, Bank Syariah terutama harus melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun di luar negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon nasabah yang akan dibiayai dengan fasilitas pembiayaan.
        Kemudian kembali Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 mengatur ketentuan usaha yang dilarang dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Ketentuan usaha yang dilarang dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 25 Undnag-Undang Nomor 21 Tahun 2008. Menurut ketentuan ini, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang:
a.       Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah;
b.      Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
c.       Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin Bank Indonesia;
d.      Melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah;
e.       Melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah;
f.       Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
Ketentuan usaha yang dilarang dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah ini bersesuaian dengan pengertian Bank Pembiayaan Rakyat Syariah itu sendiri, yatu Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Menggunakan agunan dalam hutang, menurut Qur’an dan Sunnah, tidak dengan sendirinya tercela. Qur’an memerintahkan Muslim menulis kewajiban mereka, dan jika menggunakan agunan untuk hutang. Nabi dalam beberapa kesempatan memberikan kepada kreditor dengan agunan untuk hutang. Agunan adalah metode menjamin hak kreditor tidak dibayar, dan menghindari “makan hak orang lain tanpa ijin” Namun demikian, menuntut agunan dilihat oleh pendukung perbankan Islam sebagai kendala arus keuangan bank kepada para pengusaha yang relatif berpendapatan rendah. Bank-bank Islam cenderung mengkritik bank-bank tradisional untuk investasi dan pembangunan (IIBID), agunan adalah “unsure terpenting” dalam keputusan meminjamkan dari bank tradisional. Ini menunjukkan bahwa untuk bank Islam, agunan bukan masalah penting dalam keputusan pembiayaan.
D.        Pemantauan dan Pengawasan Pembiayaan
Pembiayaan adalah suatu proses, mulai dari analisis kelayakan pembiayaan sampai kepada realisasinya. Namun realisasi pembiayaan bukanlah tahap terakhir dari proses pembiayaan. Setelah realisasi pembiayaan, maka pejabat bank syari’ah perlu melakukan pemantauan dan pengawasan pembiayaan. Aktivitas ini memiliki aspek dan tujuan tertentu. Untuk itu perlu dibicarakan hal-hal yang terkait dengan aktivitas pemantauan dan pengawasan pembiayaan.
Tujuan Pemantauan dan Pengawasan Pembiayaan:
1.        Kekayaan bank syari’ah akan selalu terpantau dan menghindari adanya penyelewengan-penyelewengan baik oknum dari luar maupun dari dalam bank syari’ah.
2.      Untuk memastikan ketelitian dan kebenaran data administrasi di bidang pembiayaan.
3.      Untuk memajukan efisiensi di dalam pengelolaan tata laksana usaha di bidang peminjaman dan sasaran pencapaian yang ditetapkan.
4.      Kebijakan manajemen bank syari’ah akan dapat lebih rapid an mekanisme dan prosedur pembiayaan akan lebih dipatuhi.
Media Pemantauan:
1.      Informasi dari luar bank syari’ah
Diupayakan data dari laporan periodik usaha dibiayai baik itu berupa laporan stok, realisasi kerja dan laporan keuangan. Laporan harus juga dikontrol melalui realisasi kerjanyajangan hanya berdasarkan formulir laporan keuangan.
2.      Informasi dari dalam bank syari’ah
Penelitian mutasi keuangan anggota dalam rekening sehingga diperoleh gambaran mutasi yang sesungguhnya dan tidak terjadi manipulasi.
3.      Meneliti perputaran yang terjadi atas debit dan kredit pada beberapa bulan berjalan.
4.      Memberikan tanda pada laporan sehingga dapat diantisipasi jika ada kekeliruan yang lebih besar.
5.      Periksalah adakah tanggal-tanggal jatuh tempo yang dijanjikan terealisasi.
6.      Meneliti buku-buku pembantu/tambahan dan map-map yang berkaitan dengan peminjaman.
E.     Penanganan Pembiayaan Bermasalah
Resiko yang terjadi dari peminjaman adalah peminjaman yang tertunda atau ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah dibebankan, untuk mengantisipasi hal tersebut maka bank syari’ah harus mampu menganalisis penyebab permasalahannya.
1.      Analisis sebab kemacetan
a)      Aspek internal
a)      Peminjam kurang cakap dalam usaha tersebut
b)      Manajemen tidak baik atau kurang rapi
c)      Laporan keuangan tidak lengkap
d)     Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan perencanaan
e)      Perencanaan yang kurang matang
f)       Dana yang diberikan tidak cukup untuk menjalankan usaha tersebut
b.      Aspek eksternal
a)      Aspek pasar kurang mendukung
b)      Kemampuan daya beli masyarakat kurang
c)      Kebijakan pemerintah
d)     Pengaruh lain di luar usaha
e)      Kenakalan peminjam
2.      Menggali potensi peminjam
Anggota yang mengalami kemacetan dalam memenuhi kewajiban harus dimotivasi untuk memulai kembali atau membenahi dan mengantisipasi penyebab kemacetan usaha atau angsuran. Untuk itu perlu digali potensi yang ada pada peminjam agar dana yang telah digunakan lebih efektif digunakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a.       Adakah peminjam memiliki kecakapan lain?
b.      Adakah peminjam memiliki usaha lainnya?
c.       Adakah penghasilan lain peminjam?
3.      Melakukan perbaikan akad (remedial)
4.      Memberikan pinjaman ulang, mungkin dalam bentuk: pembiayaan al-Qardul Hasan; Murabahah atau Mudharabah
5.      Penundaan pembayaran
6.      Memperkecil angsuran dengan memperpanjang waktu atau akad dan margin baru (Rescheduling)
7.      Memperkecil margin keuntungan atau bagi hasil



BAB III
PENUTUP
Pembiayaan merupakan pendanaan, baik aktif maupun pasif, yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan kepada nasabah. Prinsip kehati-hatian ditujukan pada keamanan dan kesehatan lembaga keuangan dalam kaitannya dengan perlindungan nasabah khususnya dari kerugian nasabah yang timbul ketika institusi tersebut bangkrut, walaupun tidak menimbulkan dampak terhadap sistem keuangan.
Pedoman analisis kelayakan penyaluran dana perbankan syariah didasarkan kepada penilaian yang saksama terhadap faktor-faktor di bawah ini:
1.         Penilaian watak/kepribadian (character)
2.         Penilaian kemampuan (capacity)
3.         Penilaian modal (capital)
4.         Penilaian agunan (colateral)
5.         Penilaian prospek usaha (condition of economy)




DAFTAR PUSTAKA
Usman, Rachmadi. 2012. Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Sri Imaniyati, Neni. 2013. Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum Ekonomi. Bandung: CV. Mandar Maju.
Saeed, Abdullah. 2003. Bank Islam dan Bunga: studi kritis dan interpretasi kontemporer tentang riba dan bunga. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Jundiani. 2009. Pengaturan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Malang: UIN-Malang Press (Anggota IKAPI).
Muhammad. 2011. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.
Tugas, Florenz C. 2012. “A Comparative Analysis of the Financial Ratios of Listed Firms Belonging to the Education Subsector in the Philippines for the Years 2009-2011,” 3: 173-190.
Klačmer Čalopa, Marina. 2014. “Analysis Of Financing Sources For Start-Up Companies,” 19: 19-43.




[1] Muhammad, 2011, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN), hlm. 303-304.
[2] Rachmadi Usman, 2012, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 145.
[3] Jundiani, 2009, Pengaturan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Malang: UIN-Malang Press (Anggota IKAPI), hlm. 169.

0 komentar:

Post a Comment