BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Dua fungsi utama bank syari’ah adalah mengumpulkan dana dan menyalurkan
dana. Penyaluran dana yang dilakukan bank syari’ah adalah pemberian pembiayaan
kepada debitur yang membutuhkan, baik untuk modal usaha maupun untuk konsumsi.
Praktik pembiayaan yang sebenarnya dijalankan oleh lembaga keuangan Islami
adalah pembiayaan dengan sistem bagi hasil atau syirkah. Praktik syirkah
ini terkemas dalam dua jenis pembiayaan, yaitu pembiayaan mudharabah (MDA) dan pembiayaan musyarakah
(MSA). Jenis pembiayaan lainnya adalah terkemas dalam pembiayaan berakad/sistem
jual beli, yaitu pembiayaan murabahah
(MBA), bai as-salam dan bai istishna’.[1]
Dalam
dunia bank syari’ah praktik MDA dan MSA hingga saat ini masih belum menjadi
primadona jenis pembiayaan, bahkan di beberapa lembaga pembiayaan praktik
pembiayaan akad ini merupakan praktik yang dihindari atau katakanlah sebagai
anak tiri. Mengapa ini terjadi? Secara pasti rasanya sulit untuk menjawabnya,
namun dari hasil pengamatan dan kajian di lapangan ditemukan beberapa kendala stagnasi pembiayaan, antara lain:
·
Belum adanya manual teknis yang mampu memberikan petunjuk bagi pengelola
untuk bertindak secara rasional
·
Trauma sejarah mudharabah dan musyarakah
·
Kelemahan sumberdaya manusia
·
Pengaruh praktik konvensional bank
Berdasarkan kendala-kendala tersebut di atas, maka perlu dilakukan
langkah-langkah strategis yang dapat dijadikan dasar dalam melakukan analisis
pembiayaan secara baik. Di bab selanjutnya akan dibahas secara lengkap
berkenaan dengan analisis kelayakan pembiayaan.
2.
Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian pembiayaan?
b.
Bagaimana prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha
bank syariah?
c.
Bagaimana analisis kelayakan penyaluran dana?
d.
Bagaimana pemantauan dan pengawasan pembiayaan?
e.
Bagaimana penanganan pembiayaan bermasalah?
3.
Maksud dan
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian pembiayaan.
2.
Mengetahui prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha
bank syariah.
3.
Mengetahui analisis kelayakan penyaluran dana.
4.
Mengetahui pemantauan dan pengawasan pembiayaan.
5.
Mengetahui penanganan pembiayaan bermasalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Pembiayaan
Pembiayaan
secara luas berarti financing atau pembelanjaan, yaitu pendanaan yang
dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan
sendiri maupun dijalankan oleh orang lain. Dalam arti sempit, pembiayaan
dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan,
seperti bank syari’ah, kepada nasabah. Dalam kondisi ini, arti pembiayaan
menjadi sempit dan pasif. Tetapi bisa jadi penyempitan arti ini juga disebabkan
karena keterbatasan pemahaman para pelaku bisnisnya. Dapat disimpulkan bahwa
pembiayaan merupakan pendanaan, baik aktif maupun pasif, yang dilakukan oleh
lembaga pembiayaan kepada nasabah.
B.
Prinsip Kehati-hatian Dalam Kegiatan Usaha Bank Syariah
Apabila Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan belum secara eksplisit menentukan bahwa kegiatan-kegiatan
bank bagi hasil harus pula memperhatikan prinsip-prinsip kehati-hatian (prudential principle) yang untuk
operasionalitasnya dijabarkan ke dalam rambu-rambu kesehatan bank (prudential standards) yang secara tegas
diberlakukan bagi bank konvensional, maka dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 yang merupakan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 itu telah dengan tegas menentukan bahwa prinsip dan rambu-rambu
tersebut harus pula diperhatikan dan dipatuhi oleh bank-bank yang melakukan
kegiatannya berdasarkan Prinsip Syariah.
Kewajiban menerapkan prinsip prinsip
kehati-hatian dalam kegiatan usaha perbankan, secara tegas dinyatakan dalam
ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menetapkan, bahwa “perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.”
Oleh sebab itu, maka prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha perbankan harus
dipegang teguh dan diterapkan dalam kegiatan usaha perbankan.
Dengan telah diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kembali
mempertegas kewajiban Bank Syariah dan UUS untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian dan kesehatan bank dalam melakukan kegiatan usahanya. Prinsip
kehati-hatian merupakan pedoman pengelolaan Bank Syariah dan UUS dalam rangka
mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 menetapkan, bahwa “perbankan
syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi
ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.” Kewajiban menerapkan prinsip-prinsip
kehati-hatian bagi Bank Syariah dan UUS mendapat penegasan dalam ketentuan
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 yang menetapkan, bahwa “Bank Syariah dan UUS dalam melakukan
kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.” Dengan demikian,
jelas bahwa perbankan syariah diwajibkan pula dalam pengelolaan bank menerapkan
prinsip kehati-hatian berdasarkan rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Selain itu, untuk memelihara kepercayaan
masyarakat, perbankan syariah diwajibkan pula menjaga tingkat kesehatannya.
Kewajiban perbankan syariah memelihara tingkat kesehatannya ditentukan dalam
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, yang menetapkan, bahwa “Bank Syariah dan UUS wajib memelihara
tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal,
kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang
menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap prinsip
syariah dan prinsip manajemen islami, serta aspek lainnya yang berhubungan
dengan usaha Bank Syariah dan UUS.” Jadi, jelas bahwa perbankan syariah
diwajibkan pula untuk memelihara dan selalu tetap menjaga tingkat kesehatannya
berdasarkan rambu-rambu yang telah ditetapkan.
Dengan diabaikannya rambu-rambu
kesehatan bank oleh bank-bank yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip
syariah memberikan dampak kerugian yang jauh lebih besar daripada dilakukan
oleh suatu bank konvensional. Ada paling sedikit dua alasan mengapa dampak
tersebut lebih besar. Alasan pertama,
karena risiko yang dihadapi oleh bank syariah, dalam hal pembiayaan diberikan
berdasarkan akad mudharabah kepada
nasabahnya, jauh lebih besar daripada risiko yang dihadapi oleh bank
konvensional yang memberikan kredit dengan jaminan. Pada pembiayaan mudharabah, bank syariah sebagai prinsip
syariah tidak boleh meminta agunan dari nasabah yang diberi pembiayaan. Dengan
kata lain, sumber pelunasan kredit bagi bank konvensional selain berupa first way out, juga bank konvensional
masih dapat mengandalkan second way out
berupa agunan kredit dan penjaminan (guarantee)
apabila first way out mengalami
kegagalan.[2]
Alasan kedua, apabila terjadi kegagalan pada pembiayaan yang diberikan
oleh bank syariah, antara lain dalam bentuk
mudharabah dan musyarakah,
nasabah tidak berkewajiban untuk mengembalikan dana bank tersebut. Pada
transaksi mudharabah, bank syariahlah
yang harus memikul risiko kehilangan dana yang telah diberikan oleh bank
syariah kepada nasabah (mudharib)
untuk diputarkan dalam kegiatan usaha nasabah, sedangkan risiko yang dipikul mudharib hanya berupa tidak memperoleh
keuntungan dan remunerasi dari jerih payahnya dalam menjalankan dan mengelola
usaha itu. Dengan kata lain, bank syariahlah yang harus memikul risiko
finansial, sementara nasabah hanya memikul risiko nonfinansial.
Di samping menerapkan prinsip
kehati-hatian dalam pengelolaan bank, perbankan syariah diwajibkan pula untuk
tidak melakukan cara-cara yang dapat merugikan perbankan syariah (Bank Syariah
dan UUS) serta nasabah yang mempercayakan dananya dalam melakukan kegiatan
usahanya. Ketentuan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 secara
tegas menyatakan, bahwa “dalam
menyalurkan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank Syariah dan
UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan atau UUS dan
kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya.” Pada dasarnya ketentuan
dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, sejalan dengan ketentuan
dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menentukan bahwa “dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan dananya kepada bank.” Dengan demikian berdasarkan ketentuan
dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaiman telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 36 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008, jelas bahwa perbankan syariah diwajibkan untuk menjamin
kepentingan nasabah dan bank dari segala perbuatan yang dapat menimbulkan
kerugian ketika bank tidak menerapkan rambu-rambu kehati-hatian dan kesehatan
bank dalam melakukan kegiatan penyaluran pembiayaan dan melakukan kegiatan
usaha lainnya.
Prinsip kehati-hatian ditujukan pada
keamanan dan kesehatan lembaga keuangan dalam kaitannya dengan perlindungan
nasabah khususnya dari kerugian nasabah yang timbul ketika institusi tersebut
bangkrut, walaupun tidak menimbulkan dampak terhadap sistem keuangan.
Pengaturan ketentuan kehati-hatian dan pelaksanaan pengawasan serta
pemeriksaaan perbankan dilaksanakan karena nasabah tidak berada dalam posisi
untuk menilai dan mengetahui keamanan serta kesehatan dari banknya serta tidak
memiliki potensi yang lengkap tentang kegiatan usaha lembaga keuangannya.
Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah berkewajiban untuk menyampaikan kepada Bank
Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan perhitungan laba rugi
tahunan serta penjelasannya yang disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah
yang berlaku umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan bentuk yang
diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Di dalam Penjelasan Pasal tersebut
disebutkan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “prinsip akuntansi syariah
yang berlaku umum” bagi laporan keuangan bank adalah standar akuntansi syariah
yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.[3]
Sehubungan
dengan pengaturan kewajiban penyampaian neraca dan perhitungan laba rugi
tahunan untuk terlebih dahulu diaudit oleh kantor akuntan publik adalah dapat
ditentukan pengecualiannya oleh Bank Indonesia kepada Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah. Dalam Penjelasan Pasal tersebut dinyatakan dalam memberikan
pengecualian, Bank Indonesia memperhatikan kemampuan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah yang bersangkutan.
C.
Analisis Kelayakan Penyaluran Dana
Seperti diketahui, ketentuan dalam Pasal
36 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 menentukan, bahwa “dalam menyalurkan pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank
Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan Bank Syariah dan
atau UUS dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya.” Agar
penyaluran dana syariah tidak menimbulkan kerugian bagi Bank Syariah dan atau
UUS dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya, Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 secara khusus menetapkan pedoman analisis kelayakan penyaluran dana
kepada nasabah penerima fasilitas. Pedoman pembiayaan perbankan syariah
dimaksud ditentukan dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
Menurut ketentuan dalam Pasal 23
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, Bank Syariah dan atau UUS harus mempunyai
keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas untuk
melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum Bank Syariah dan atau UUS
menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas. Untuk memperoleh keyakinan
dimaksud, Bank Syariah dan atau UUS wajib melakukan penilaian yang saksama
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari calon nasabah
penerima fasilitas.
Dengan demikian, dari ketentuan dalam
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, jelas bahwa sebelum Bank Syariah
dan atau UUS menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas, harus
mempunyai keyakinan kemauan dan kemampuan calon nasabah penerima fasilitas
melunasi seluruh kewajiban dan utang pada waktunya sesuai dengan disepakati
antara bank dan calon nasabah penerima fasilitas. Kemauan berkaitan dengan
iktikad baik dari nasabah penerima fasilitas untuk membayar kembali penggunaan
dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan atau UUS. Sementara itu, kemampuan
berkaitan dengan keadaan dan atau aset nasabah penerima fasilitas, sehingga
mampu untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh Bank Syariah
dan atau UUS.
Pada prinsipnya ketentuan dalam Pasal 23
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 8
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998, yang mewajibkan Bank Umum dalam memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan
yang diperjanjikan antara bank yang bertindak sebagai shahib al-maal dan nasabah yang bertindak sebagai mudharib.
Dalam hal ini Pasal 8 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998, mewajibkan pula Bank Umum Syariah untuk memiliki dan menerapkan pedoman
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia. Pedoman analisis kelayakan penyaluran dana perbankan
syariah didasarkan kepada penilaian yang saksama terhadap faktor-faktor di
bawah ini.
1. Penilaian
watak/kepribadian (character)
Penilaian watak calon
nasabah penerima fasilitas terutama didasarkan kepada hubungan yang telah
terjalin antara Bank Syariah dan atau UUS dan nasabah atau calon nasabah yang
bersangkutan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang dapat dipercaya
sehingga Bank Syariah dan atau UUS dapat menyimpulkan bahwa calon Nasabah
penerima fasilitas yang bersangkutan jujur, beriktikad baik, dan tidak
menyulitkan Bank Syariah dan atau UUS di kemudian hari.
2. Penilaian
kemampuan (capacity)
Penilaian kemampuan
calon nasabah penerima fasilitas terutama bank harus meneliti tentang keahlian
nasabah penerima fasilitas dalam bidang usahanya dan atau kemampuan manajemen
calon nasabah, sehingga Bank Syariah dan atau UUS merasa yakin bahwa usaha yang
akan dibiayai dikelola oleh orang yang tepat.
3. Penilaian
modal (capital)
Penilaian terhadap
modal yang dimiliki calon nasabah penerima fasilitas, terutama Bank Syariah dan
UUS harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara keseluruhan, baik
untuk masa yang telah lalu maupun perkiraan untuk masa yang akan datang
sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon nasabah penerima fasilitas
dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha calon nasabah yang bersangkutan.
4. Penilaian
agunan (colateral)
Dalam melakukan
penilaian terhadap agunan, Bank Syariah dan atau UUS harus menilai barang,
proyek atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang
bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi risiko yang
ditambahkan sebagai agunan tambahan, apakah sudah cukup memadai sehingga
apabila nasabah penerima fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya,
agunan tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran kembali pembiayaan
dari Bank Syariah dan atau UUS yang bersangkutan.
5. Penilaian
prospek usaha (condition of economy)
Penilaian terhadap
proyek usaha calon nasabah penerima fasilitas, Bank Syariah terutama harus
melakukan analisis mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun di luar negeri,
baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan datang sehingga dapat
diketahui prospek pemasaran dari hasil proyek atau usaha calon nasabah yang
akan dibiayai dengan fasilitas pembiayaan.
Kemudian kembali Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 mengatur
ketentuan usaha yang dilarang dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Ketentuan usaha yang dilarang dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 25 Undnag-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
Menurut ketentuan ini, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang:
a. Melakukan
kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah;
b. Menerima
simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
c. Melakukan
kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali penukaran uang asing dengan izin
Bank Indonesia;
d. Melakukan
kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi
syariah;
e. Melakukan
penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi
kesulitan likuiditas Bank Pembiayaan Rakyat Syariah;
f. Melakukan
usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008.
Ketentuan usaha yang dilarang dilakukan
oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah ini bersesuaian dengan pengertian Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah itu sendiri, yatu Bank Syariah yang dalam kegiatannya
tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Menggunakan
agunan dalam hutang, menurut Qur’an dan Sunnah, tidak dengan sendirinya
tercela. Qur’an memerintahkan Muslim menulis kewajiban mereka, dan jika menggunakan
agunan untuk hutang. Nabi dalam beberapa kesempatan memberikan kepada kreditor
dengan agunan untuk hutang. Agunan adalah metode menjamin hak kreditor tidak
dibayar, dan menghindari “makan hak orang lain tanpa ijin” Namun demikian,
menuntut agunan dilihat oleh pendukung perbankan Islam sebagai kendala arus
keuangan bank kepada para pengusaha yang relatif berpendapatan rendah.
Bank-bank Islam cenderung mengkritik bank-bank tradisional untuk investasi dan
pembangunan (IIBID), agunan adalah “unsure terpenting” dalam keputusan
meminjamkan dari bank tradisional. Ini menunjukkan bahwa untuk bank Islam,
agunan bukan masalah penting dalam keputusan pembiayaan.
D.
Pemantauan dan Pengawasan Pembiayaan
Pembiayaan
adalah suatu proses, mulai dari analisis kelayakan pembiayaan sampai kepada
realisasinya. Namun realisasi pembiayaan bukanlah tahap terakhir dari proses
pembiayaan. Setelah realisasi pembiayaan, maka pejabat bank syari’ah perlu
melakukan pemantauan dan pengawasan pembiayaan. Aktivitas ini memiliki aspek
dan tujuan tertentu. Untuk itu perlu dibicarakan hal-hal yang terkait dengan
aktivitas pemantauan dan pengawasan pembiayaan.
Tujuan
Pemantauan dan Pengawasan Pembiayaan:
1.
Kekayaan
bank syari’ah akan selalu terpantau dan menghindari adanya
penyelewengan-penyelewengan baik oknum dari luar maupun dari dalam bank
syari’ah.
2.
Untuk
memastikan ketelitian dan kebenaran data administrasi di bidang pembiayaan.
3.
Untuk
memajukan efisiensi di dalam pengelolaan tata laksana usaha di bidang
peminjaman dan sasaran pencapaian yang ditetapkan.
4.
Kebijakan
manajemen bank syari’ah akan dapat lebih rapid an mekanisme dan prosedur
pembiayaan akan lebih dipatuhi.
Media Pemantauan:
1.
Informasi
dari luar bank syari’ah
Diupayakan data dari laporan periodik usaha dibiayai baik itu berupa
laporan stok, realisasi kerja dan laporan keuangan. Laporan harus juga
dikontrol melalui realisasi kerjanyajangan hanya berdasarkan formulir laporan
keuangan.
2.
Informasi
dari dalam bank syari’ah
Penelitian mutasi keuangan anggota dalam rekening sehingga diperoleh
gambaran mutasi yang sesungguhnya dan tidak terjadi manipulasi.
3.
Meneliti
perputaran yang terjadi atas debit dan kredit pada beberapa bulan berjalan.
4.
Memberikan
tanda pada laporan sehingga dapat diantisipasi jika ada kekeliruan yang lebih
besar.
5.
Periksalah
adakah tanggal-tanggal jatuh tempo yang dijanjikan terealisasi.
6.
Meneliti
buku-buku pembantu/tambahan dan map-map yang berkaitan dengan peminjaman.
E. Penanganan
Pembiayaan Bermasalah
Resiko yang terjadi dari peminjaman adalah peminjaman yang tertunda atau
ketidakmampuan peminjam untuk membayar kewajiban yang telah dibebankan, untuk
mengantisipasi hal tersebut maka bank syari’ah harus mampu menganalisis
penyebab permasalahannya.
1.
Analisis
sebab kemacetan
a)
Aspek
internal
a)
Peminjam
kurang cakap dalam usaha tersebut
b)
Manajemen
tidak baik atau kurang rapi
c)
Laporan
keuangan tidak lengkap
d)
Penggunaan
dana yang tidak sesuai dengan perencanaan
e)
Perencanaan
yang kurang matang
f)
Dana
yang diberikan tidak cukup untuk menjalankan usaha tersebut
b.
Aspek
eksternal
a)
Aspek
pasar kurang mendukung
b)
Kemampuan
daya beli masyarakat kurang
c)
Kebijakan
pemerintah
d)
Pengaruh
lain di luar usaha
e)
Kenakalan
peminjam
2.
Menggali
potensi peminjam
Anggota yang mengalami
kemacetan dalam memenuhi kewajiban harus dimotivasi untuk memulai kembali atau
membenahi dan mengantisipasi penyebab kemacetan usaha atau angsuran. Untuk itu
perlu digali potensi yang ada pada peminjam agar dana yang telah digunakan
lebih efektif digunakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a.
Adakah
peminjam memiliki kecakapan lain?
b.
Adakah
peminjam memiliki usaha lainnya?
c.
Adakah
penghasilan lain peminjam?
3.
Melakukan
perbaikan akad (remedial)
4.
Memberikan
pinjaman ulang, mungkin dalam bentuk: pembiayaan al-Qardul Hasan; Murabahah
atau Mudharabah
5.
Penundaan
pembayaran
6.
Memperkecil
angsuran dengan memperpanjang waktu atau akad dan margin baru (Rescheduling)
7.
Memperkecil
margin keuntungan atau bagi hasil
BAB III
PENUTUP
Pembiayaan
merupakan pendanaan, baik aktif maupun pasif, yang dilakukan oleh lembaga
pembiayaan kepada nasabah. Prinsip kehati-hatian ditujukan
pada keamanan dan kesehatan lembaga keuangan dalam kaitannya dengan perlindungan
nasabah khususnya dari kerugian nasabah yang timbul ketika institusi tersebut
bangkrut, walaupun tidak menimbulkan dampak terhadap sistem keuangan.
Pedoman analisis kelayakan penyaluran
dana perbankan syariah didasarkan kepada penilaian yang saksama terhadap
faktor-faktor di bawah ini:
1.
Penilaian watak/kepribadian (character)
2.
Penilaian kemampuan (capacity)
3.
Penilaian modal (capital)
4.
Penilaian agunan (colateral)
5.
Penilaian prospek usaha (condition of economy)
DAFTAR PUSTAKA
Usman,
Rachmadi. 2012. Aspek Hukum Perbankan
Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Sri
Imaniyati, Neni. 2013. Perbankan Syariah
dalam Perspektif Hukum Ekonomi. Bandung: CV. Mandar Maju.
Saeed,
Abdullah. 2003. Bank Islam dan Bunga:
studi kritis dan interpretasi kontemporer tentang riba dan bunga. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Jundiani.
2009. Pengaturan Hukum Perbankan Syariah
di Indonesia. Malang: UIN-Malang Press (Anggota IKAPI).
Muhammad.
2011. Manajemen Bank Syariah.
Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN.
Tugas,
Florenz C. 2012. “A Comparative Analysis of the Financial
Ratios of Listed Firms Belonging to the Education Subsector in the Philippines
for the Years 2009-2011,” 3: 173-190.
Klačmer Čalopa,
Marina. 2014. “Analysis Of Financing Sources For Start-Up Companies,” 19: 19-43.
[1] Muhammad, 2011, Manajemen
Bank Syariah, (Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN), hlm.
303-304.
[2] Rachmadi
Usman, 2012, Aspek Hukum Perbankan
Syariah di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 145.
[3]
Jundiani, 2009, Pengaturan
Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Malang: UIN-Malang Press (Anggota
IKAPI), hlm. 169.
0 komentar:
Post a Comment