Friday, 4 November 2016

Pengertian Wahyu dan Proses Pewahyuan

Oleh:
Annisa Rahmawati
Dewi Hasanah B
Hanifah Nurul S
Reza Andrianto S

BAB I
PENDAHULUAN
  1. LATAR BELAKANG MASALAH
Wahyu merupakan firman dari Allah SWT yang diturunkan melalui Nabi dan Rasul untuk kemudian disampaikan kepada umat manusia. Wahyu ini yang dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia. Seperti dijelaskan pada hadis karya al-Kulaini yang mempunyai arti “Sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan dalam al-Qur’an penjelasan segala sesuatu, sehingga, demi Allah, Dia tidak melewatkan sesuatupun yang dibutuhkan hamba-hamba-Nya, juga sehingga seseorang tidak mampu mengatakan: Kalaulah ini diturunkan dalam al-Qur’an, kecuali Allah telah menurunkannya didalamnya”.1 Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa al-Qur’an merupakan petunjuk atau penjawab tentang persoalan hidup manusia didunia. Seperti wahyu Allah yang diturunkan melalui Nabi dan Rasul maka kita harus mengetahui tentang perjalanan bagaimana proses pewahyuan itu terjadi.
Seperti kita ketahui bahwa wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW sedang menyepi di Gua Hira dan Nabi Muhammad berusia 50 tahun ketika menerima wahyu dari Allah SWT melalui malaikat Jibril.2
  1. RUMUSAN MASALAH
  1. Apa pengertian dari wahyu?
  2. Bagaimana proses turunnya wahyu?


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Wahyu
Secara etimologis, kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu yang memiliki beberapa arti, diantaranya isyarat, tulisan, risalah, ilham, bisikan yang bersifat tersembunyi yang disampaikan satu pihak kepada pihak lain. Secara kebahasaan, wahyu dapat terjadi dalam penyampaian makna, isyarat, atau ketetapan secara rahasia dan cepat dari Allah SWT kepada makhluknya, manusia, hewan, atau alam. Wahyu Allah SWT kepada manusia secara riil disampaikan kepada para rasul, para nabi, para wali, dan boleh jadi kepada manusia biasa, boleh jadi pula langsung atau melalui utusan malaikat Jibril. Dan yang langsung, boleh jadi wahyu dari balik tabir dan boleh jadi dalam bentuk ilham atau dalam mimpi. Wahyu Allah SWT kepada manusia secara garis besar ada tiga kemungkinan, Allah SWT berfirman:
Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana” (QS. Asy-Syura’ [42]: 51)
Dari ketiga kemungkinan wahyu diatas, dapat dipahami bahwa segala bentuk informasi (kalam) yang disampaikan Allah kepada manusia tercakup dalam makna wahyu. Kemudian menyangkut wahyu kepada para nabi dan rasul melalui perantara Jibril.
Dalam al-Qur’an kata wahyu diulang sebanyak 78 kali, dalam bentuk kata benda (ism) sebanyak 6 kali dan dalam bentuk kata kerja sebanyak (fi’l) sebanyak 72 kali. Kata wahyu tersebut memiliki beberapa arti:
  1. Ilham naluriah bagi manusia (ilham al-garizi li al-insan), seperti wahyu terhadap Ibu Nabi Musa supaya menyusui Musa (Q.S. al-Qasas [28]: 7).
  2. Ilham naluriah bagi binatang (ilham al-garizi li al-hayawan), seperti wahyu kepada lebah untuk membuat sarang di bukit-bukit, pohon-pohon dan di rumah-rumah yang didirikan manusia (Q.S. al-Nahl [16]: 68).
  3. Isyarat yang cepat dalam bentuk lambang dan petunjuk, seperti isyarat Nabi Zakaria kepada kaumnya untuk mengagungkan Tuhannya pada waktu pagi dan petang (Q.S. Maryam [19]: 11).
  4. Bisikan dan tipu daya setan untuk mengajak manusia berbuat kejahatan (Q.S. al-An’am [6]: 112).
  5. Perintah Tuhan kepada malaikat supaya melaksanakannya (Q.S. al-Anfal [8]: 12)3

  1. Proses Pewahyuan
Cara turunnya wahyu ada tiga cara:
Pertama, dengan cara menambatkan makna isi al-Qur'an tersebut ke dalam hati Rasulullah SAW, atau dengan cara menghembuskannya ke dalam jiwanya, sehingga ia merasakan sendiri bahwa apa yngg diterimannya itu berasal dari Allah SWT. Cara ini disebut dengan cara Ra'yu ash-shalihah atau impian nyata diperolehnya dengan jalan mimpi dalam tidur, tetapi kemudian menjadi kenyataan. Contohnya, seperti impian Nabi Ibrahim AS ketika menerima wahyu yang memerintahkan supaya menyembelih puteranya Ismail.
Kedua, menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW dari balik tabir, yakni suara bisikan wahyu disampaikan kepada Nabi SAW dari celah-celah gemerincingya suara lonceng atau bel. Jadi yang dijadikan tabir menutup pendengaran para sahabat adalah gemuruhnya bunyi lonceng, yang menghalangi telinga mereka mendengar bisikan suara wahyu ayat yang diturunkan. Tetapi telinga Nabi tetap mendengar bisikan suara wahyu itu dari tabir suara lonceng tersebut.
Ketiga, dengan cara melalui perantaraan malaikat Jibril AS sebagai pembawa wahyu-Nya. Hal ini sebagaimana sudah diisyaratkan oleh al-Qur'an yang terdapat pada ayat 193-194 surah Asyu'ara. Jadi, malaikat Jibril membacakan wahyu ayat-ayat yang diturunkan, baik dia itu tetap dalam bentuk aslinya dalam alam rohani, dan tubuh Nabi SAW yang melepaskan diri dari bentuk tubuh jasmani menjadi bentuk rohani.

Wahyu Allah SWT yang disampaikan langsung kepada manusia, dapat dalam bentuk ilham atau isyarat ke dalam hati, dapat pula lewat mimpi.4
  1. Wahyu dalam bentuk ilham
  1. Wahyu kepada Ibunda Nabi Musa
  2. Wahyu kepada kaum Hawari
  3. Wahyu kepada Lukman
  1. Wahyu dalam bentuk mimpi
  1. Perintah kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih putranya, Ismail
  2. Isyarat dengan symbol-simbol yang disampaikan kepada Nabi Yusuf
  3. Isyarat mimpi kepada penghuni penjara yang ditakwil Nabi Yusuf
  4. Isyarat mimpi kepada raja Mesir yang kemudian ditakwil oleh Nabi Yusuf

Pewahyuan al-Qur’an
Kita tahu hampir semua agama besar di dunia, khususnya yang sering di sebut “agama semitik” (yudaisme, kristianisme, dan islam) yang memang di sebabkan latar belakang sejarah dan masab yang sama, secara fundamental bertumpu pada wahyu dan seorang nabi untuk menegaskan eksistensinya baik secara ontologis maupun legalistiknya. Dalam islam sendiri, wahyu menjadi salah satu dari tiga pilar utama epistemologi dalam islam sehingga dapat dikatakan bahwa dalam hal yang menyangkut konsep dan detail tentang “Wahyu” dan “Nabi”, terkait dan tidak dapat di pisahkan karena itu, jibril yang di tugaskan sebagai malaikat pembawa wahyu, turun kepada para Nabi Muhammad SAW menyampaikan risalah illahi dan ajaran-ajarannya.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih detail maka penulis akan memaparkan bagaimana konsep wahyu dan pewahyuan dalam pandangan beberapa ulama klasik dan kontemporer.
  1. Pewahyuan al-Qur’an dalam kajian ulama’ klasik
Pandangan klasik dalam hal ini diwakili oleh al-Zarkasyi dengan karya monumentalnya al-Burhan fi ulum al-Qur’an dan al-Suyuti dengan karyanya al-Itqan fi ulum al-Qur’an, kedua tokoh penulis ambil menjadi wakil dari pemikiran klasik dalam bidang ulum al-Qur’an di karenakan mereka merupakan founding father dalam bidang tersebut yang menggambarkan prestasi ulama klasik dalam bidang ulum al-Qur’an.
Al-Zarkasyi dalam karyanya memberikan pembahasan seputar turunnya al-Qur’an, mengenai turunnya al-Qur’an Lauh al-mahfudz sampai kepada baginda rasulullah SAW. Dalam hal ini ia menjelaskan ada 3 cara pewahyuan al qur’an: pertama, pada malam lailatur qadr Allah swt menurunkan Al-Qur’an sekaligus (anzalahu) dari lauh al mahfudz ke baitul izzah yang berada di langit dunia (sama’ ad-dunya) secara lengkap dan dalam satu waktu, kemudian setelah itu baru menurunkannya (wanazalahu) kepada nabi secara bertahap. Kedua, Al-Qur’an di turunkan pada langit dunia pada malam lailatul qadr dan di turunkan secara bertahap kepada nabi Muhammad SAW. Dalam konteks ini setiap tahun yakni pada setiap malam lailatul qadr Allah SWT menurunkannya sesuai kebutuhan dan tuntutan tahun tersebut. Dan adapun yang ketiga, yakni Allah SWT menjadikan malam lailatul qadr sebagai awal di mulai turunnya Al-Qur’an yang kemudian setelah itu Al-Qur’an di turunkan pada waktu yang berbeda-beda.

  1. Pewahyuan Al-Qur’an dalam kajian ulama’ kontemporer
Dalam pembahasan ini, kami akan menguiraikan pendapat Al-Zarqani, Fazlur Rahman dan Nasr Hamid Abu Zayd, yang menurut kami mewakili pemikiran modern terhadap kajian Al-Qur’an terutama mengenai wahyu, ketiga tokjoh ini paling tidak dalam karya mereka yang paling banyak menyinggung dan mengupas pembahasan terkait dengan wahyu. Menurut Al Zarqani pewahyuan Al-Qur’an terjadi dalam tiga tahapan: pertama, Al - Qur’an di turunkan ke lauh al mahfudz dengan cara hanya bisa di pahami oleh Allah SWT dan orang yang di beri akses untuk mengetahui wilayah itu, Pewahyuan seperti ini adalah pewahyuan yang secara umum. Hal ini mengindikasikan akan adannya wahyu sebelum berada di lauh al mahfudz namun keberadaannya masih menjadi misteri Allah SWT. Dan hanya Allah yang mengetahuinnya. Kedua, Al-Qur’an di turunkan ke langit dunia pada malam lailatul qadr dengan perdebatan pada masa dan lamannya di turunkan. Namun menurut Al-Zarqani pada tahapan ini Al-Qur’an di turunkan sekaligus. Adapun yang ketiga disini fungsi malakikat jibril yakni membawa atau memasukkan wahyu tersebut kedalam hari baginda Rasulullah SAW.
Dalam pembahasan menegenai apa yang di bawa atau di turunkan kepada nabi, Al -Zarqani dengan tegas mengatakan bahwa yang dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW adalah kata yang riil yang berpotensi sebagai mu’jizat dan beliau menolak dengan keras pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW atau Malaikat Jibril lah yang memverbalisasikan Al-Qur’an kedalam bahasa arab. Keyakinan dan ketegasan ini menurut Al-Zarqani didasarkan pada logika dan dalil Al- Qur’an yang jelas bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang benar-benar datang dari-Nya baik bentuk maupun makna, Al-Zarqani melanjutkan pendapatkan sebagai sebuah penegasan bagaimana mungkin Al-Qur’an menjadi mu’jizat kalau redaksi dan format bahasannya di buat oleh Nabi Muhammad SAW atau Malakait Jibril? Begitulah Al Zarqani memberikan klarifikasi mengenai keontetikan dan kemu’jizatan wahyu Allah kepada para penyanggahnya. Akan tetapi walaupun pewahyuan kepada nabi dengan menyampaikan kata yang riil, menurut Al Zarqani tetap melewati atau melalui cara-cara pewahyuan secara umum bagaimana yang sudah di jelaskan oleh ulama klasik yaitu: untuk kasus pewahyuan Al-Qur’an lanjut Al Zarqani menempuh jalan yang terakhir yakni melalui perantara Malaikat Jibril, dengan analisa bahwa semua perintah pewahyuan itu tetap menjadi tugas dan keikutsertaan Malaikat Jibril yang mana karena tugasnya itulah dia di ciptakannya.
Jika tawaran pemahaman yang di tawarkan oleh Al Zarqani masih sangat kental dengan bangunan argumentasi berdasarkan riwayat (sunnah), maka beda hal nya dengan tawaran pemahaman dari Abu Zayd. Terkait dengan wahyu, Abu Zayd lebih memahaminnya sebagai sebuah interaksi sosial budaya, bahwa pewahyuan itu terjadi tidak dapat terpisahkan dengan budaya arab pada masa itu, sehingga menjadi suatu keharusan untuk mengkaji bagaimana konteks sosial kemasyarakatan pada masa itu.
Berangkat dari sebuah persepsi bahwa Al-Qur’an selalu terkait dengan interaksi antara dua orang manusia dan Tuhan yang tidak dapat dipisahkan lagi manusia dengan budayanya membuat dia kemudian lari pada sebuah kesimpulan bahwa teks Al Qur’an terbentuk dalam sebuah realitas budaya. Dia kemudian berusaha menelusuri bagaimana proses sebuah komunikasi yang terjadi pada masa pra-arab antara manusia dan jin. Konsep wahyu seperti itu bisikan ghaib memiliki keterkaitan erat dengan basis kultur bahasa yang berkembang di tengah masyarakat arab. Menurut Abu Zayd, bahwa fenomena wahyu tidak dapat di pisahkan dari realitas setempat, masyarakat arab sebelum Islam datang telah mengenal model komunikasi antara manusia dengan alam-alam lain, seperti alam malaikat dan setan atau jin. Di tengah masyarakat arab, model komunikasi ini tamoak terlihat jelas dalam kasus sastra (puisi) dan praktik perdukunan atau yang lebih di kenal dengan isyilah “saj’ al kuhan“ bagi orang arab jin bisa berbicara.
Kepada sastrawan (penyair) dan membisikan puisi kepadannya. Ramalan yang ia sampaikan berbentuk ungkapan sastrawi itu bersumber dari jin. Interkasi jin dengan manusia sebagai mana interaksi Nabi Muhammad SAW dengan malaikat jibril.
Oleh karena itu, bangsa arab yang hidup pada saat Al-Qur’an diturunkan tidak mengingkari fenomena wahyu. Mereka membenarkan adannya malaikat yang turun membawa kalam Allah kepada manusia. Pengingkaran mereka hanya di tunjukan pada isi wahyu. Maka tak heran, jika mereka mengkategorikan Al Qur’an sebagai jenis-jenis tradisi kebangsaan yang sebelumnya sudah mapan, seperti cerita-cerita masa lalu (asathir al-awwalin), puisi (syi’r) dan atau ucapan seorang dukun (qaul kahin).
Nasr Hamid menanggapi bagaimana sebuah komunikasi ideal diatas terjadi pada proses pewahyuan al-qur’an, yang menurutnya proses pewahyuan harus dipahami sebagai respon aktual terhadap persoalan-persoalan Nabi Muhammad SAW dan masyarakat yang melingkupinya. Abu Zayid kemudian melirik dalam hal ini adalah cara-cara pewahyuan (Kaifiyyah Al-Wahy) yang terjadi dalam kategori komunikasi horizontal antara Nabi Muhammad SAW dengan malaikat Jibril. Dalam proses pewahyuan ini menurutnya yang juga mengutip pendapat Ibnu Khaldun ada dua kemungkinan: Pertama, Nabi Muhammad SAW yang keluar dari dimensi kemanusiaannya untuk masuk ke dunia malaikat (alam al-malakut) untuk menerima wahyu dari malaikat Jibril transformasi yang terjadi pada Nabi seperti ini lanjutnya dalam dunia filsafat atau sufi dikenal dengan istilah “aktivitas imajinasi”, bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki sifat atau kekhususannya sebagai seorang Rasulullah dibandingkan dengan manusia lainnya. Kedua, yang terkenal dalam hadist Mashyur bahwa malaikat Jibril lah yang masuk kedunia manusia dengan menampakkan dirinya sebagai sosok laki-laki, komunikasi ini kemudian berlanjut dengan menggunakan “bahasa manusia” yakni bahasa Arab. Dalam komunikasi ini terdapat dua dimensi yang berbeda dimensi Nabi Muhammad SAW sebagai raga insaniyah dan dimensi Jibril sebagai ruh min amri rabbi, sehingga media yang digunakan pun berbeda, dalam kondisi pertama yakni Nabi Muhammad SAW. Mentransformasikan dirinya kealam malaikat medianya berupa simbol, sehingga wahyu dalam komunikasi ini tarafnya mendekati ilham, adapun yang kedua yakni ketika jibril yang masuk ke dunia. Dikatakan bahwa wahyu ialah pemberian secara tersembunyi dan cepat yang khususnya ditunjukkan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah penertian masdarnya. Tetapi terkadang juga bahwa yang dimaksudkan adalah al-muha yakni pengertian isim maf’ul, yaitu yang diwahyukan. Selain itu, wahyu dalam perspektif bahasa (Arab) sebelum Al-Qur’an diturunkan menunjuk pada setiap proses komunikasi yang mengandung istilah “transfor informasi”. Dalam kamus lisan al-Arab wahyu bisa idartikan sebagai ilham, isyarat, tulisan dan kalam. Al-Raghib menjelaskan asal artinya al-wahy ialah al-isyarah al-tsariah, yaitu isyarat yang cepat; Amrun Wahiyyun mengandung arti kecepatan. Adapula yang mengartikan mengisyaratkan atau menunjukkan dengan kedipan mata atau tangan atau lainnya. Isyarat yang cepat itu kadang-kadang dengan ucapan, tanda, lambang, atau dengan penampilan, terkadang pula dengan suara yang sama sekali tidak tersusun, atau dengan isyarat dengan anggota.

KESIMPULAN

Wahyu adalah pemberitahuan Allah SWT kepada orang yang dipilih dari beberapa hamba-Nya mengenai beberapa petunjuk dan ilmu pengetahuan yang hendak diberitahukan-Nya tetapi dengan cara yang tidak biasa bagi manusia, baik dengan perantara atau tidak dengan perantara.
Cara turunnya wahyu ada tiga cara:
Pertama, dengan cara menambatkan makna isi al-Qur'an tersebut ke dalam hati Rasulullah SAW, atau dengan cara menghembuskannya ke dalam jiwanya, sehingga ia merasakan sendiri bahwa apa yangg diterimannya itu berasal dari Allah SWT.
Kedua, menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW dari balik tabir, yakni suara bisikan wahyu disampaikan kepada Nabi SAW dari celah-celah gemerincingya suara lonceng atau bel.
Ketiga, dengan cara melalui perantaraan malaikat Jibril AS sebagai pembawa wahyu-Nya.

DAFTAR PUSTAKA
Suryadilaga, M. Alfatih. 2009. Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis. Yogyakarta: TERAS.
Juned, Daniel. 2010. Ilmu Hadis. Jakarta: Erlangga.
Rizki, Dian. 2008. Hadis Tentang Cara-Cara Awal Mula. Yogyakarta.
Nazmiah. 2011. Pewahyuan Al-Qur’an Menurut Hisyam Ju’ait. Yogyakarta.
1 M. Alfatih Suryadilaga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2011),hlm 156.
2 Ibid, hlm 156-157.
3 M. Alfatih Suryadilaga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2011),hlm 158.

4 Daniel Juned, Ilmu Hadis. (Yogyakarta: Erlangga, 2010), hal.65

0 komentar:

Post a Comment