Oleh:
Annisa Rahmawati
Dewi Hasanah B
Hanifah Nurul S
Reza Andrianto S
PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG MASALAH
Wahyu merupakan firman
dari Allah SWT yang diturunkan melalui Nabi dan Rasul untuk kemudian
disampaikan kepada umat manusia. Wahyu ini yang dijadikan pedoman
dalam kehidupan manusia. Seperti dijelaskan pada hadis karya
al-Kulaini yang mempunyai arti “Sesungguhnya
Allah SWT telah menurunkan dalam al-Qur’an penjelasan segala
sesuatu, sehingga, demi Allah, Dia tidak melewatkan sesuatupun yang
dibutuhkan hamba-hamba-Nya, juga sehingga seseorang tidak mampu
mengatakan: Kalaulah ini diturunkan dalam al-Qur’an, kecuali Allah
telah menurunkannya didalamnya”.1
Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa al-Qur’an merupakan petunjuk
atau penjawab tentang persoalan hidup manusia didunia. Seperti wahyu
Allah yang diturunkan melalui Nabi dan Rasul maka kita harus
mengetahui tentang perjalanan bagaimana proses pewahyuan itu terjadi.
Seperti kita ketahui
bahwa wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah
Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW sedang
menyepi di Gua Hira dan Nabi Muhammad berusia 50 tahun ketika
menerima wahyu dari Allah SWT melalui malaikat Jibril.2
- RUMUSAN MASALAH
- Apa pengertian dari wahyu?
- Bagaimana proses turunnya wahyu?
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Wahyu
Secara etimologis, kata
wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahyu
yang
memiliki beberapa arti, diantaranya isyarat, tulisan, risalah,
ilham, bisikan yang bersifat tersembunyi yang disampaikan satu pihak
kepada pihak lain. Secara kebahasaan, wahyu dapat terjadi dalam
penyampaian makna, isyarat, atau ketetapan secara rahasia dan cepat
dari Allah SWT kepada makhluknya, manusia, hewan, atau alam. Wahyu
Allah SWT kepada manusia secara riil disampaikan kepada para rasul,
para nabi, para wali, dan boleh jadi kepada manusia biasa, boleh jadi
pula langsung atau melalui utusan malaikat Jibril. Dan yang langsung,
boleh jadi wahyu dari balik tabir dan boleh jadi dalam bentuk ilham
atau dalam mimpi. Wahyu Allah SWT kepada manusia secara garis besar
ada tiga kemungkinan, Allah SWT berfirman:
“Dan tidak ada bagi
seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan
perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa
yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”
(QS. Asy-Syura’ [42]: 51)
Dari ketiga kemungkinan
wahyu diatas, dapat dipahami bahwa segala bentuk informasi (kalam)
yang disampaikan Allah kepada manusia tercakup dalam makna wahyu.
Kemudian menyangkut wahyu kepada para nabi dan rasul melalui
perantara Jibril.
Dalam al-Qur’an kata
wahyu diulang sebanyak 78 kali, dalam bentuk kata benda (ism)
sebanyak 6 kali dan dalam bentuk kata kerja sebanyak (fi’l)
sebanyak 72 kali. Kata wahyu tersebut memiliki beberapa arti:
- Ilham naluriah bagi manusia (ilham al-garizi li al-insan), seperti wahyu terhadap Ibu Nabi Musa supaya menyusui Musa (Q.S. al-Qasas [28]: 7).
- Ilham naluriah bagi binatang (ilham al-garizi li al-hayawan), seperti wahyu kepada lebah untuk membuat sarang di bukit-bukit, pohon-pohon dan di rumah-rumah yang didirikan manusia (Q.S. al-Nahl [16]: 68).
- Isyarat yang cepat dalam bentuk lambang dan petunjuk, seperti isyarat Nabi Zakaria kepada kaumnya untuk mengagungkan Tuhannya pada waktu pagi dan petang (Q.S. Maryam [19]: 11).
- Bisikan dan tipu daya setan untuk mengajak manusia berbuat kejahatan (Q.S. al-An’am [6]: 112).
- Perintah Tuhan kepada malaikat supaya melaksanakannya (Q.S. al-Anfal [8]: 12)3
- Proses Pewahyuan
Cara turunnya wahyu ada
tiga cara:
Pertama,
dengan cara menambatkan makna isi al-Qur'an tersebut ke dalam hati
Rasulullah SAW, atau dengan cara menghembuskannya ke dalam jiwanya,
sehingga ia merasakan sendiri bahwa apa yngg diterimannya itu berasal
dari Allah SWT. Cara ini disebut dengan cara Ra'yu ash-shalihah atau
impian nyata diperolehnya dengan jalan mimpi dalam tidur, tetapi
kemudian menjadi kenyataan. Contohnya, seperti impian Nabi Ibrahim AS
ketika menerima wahyu yang memerintahkan supaya menyembelih puteranya
Ismail.
Kedua,
menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW dari balik tabir, yakni
suara bisikan wahyu disampaikan kepada Nabi SAW dari celah-celah
gemerincingya suara lonceng atau bel. Jadi yang dijadikan tabir
menutup pendengaran para sahabat adalah gemuruhnya bunyi lonceng,
yang menghalangi telinga mereka mendengar bisikan suara wahyu ayat
yang diturunkan. Tetapi telinga Nabi tetap mendengar bisikan suara
wahyu itu dari tabir suara lonceng tersebut.
Ketiga,
dengan cara melalui perantaraan malaikat Jibril AS sebagai pembawa
wahyu-Nya. Hal ini sebagaimana sudah diisyaratkan oleh al-Qur'an yang
terdapat pada ayat 193-194 surah Asyu'ara. Jadi, malaikat Jibril
membacakan wahyu ayat-ayat yang diturunkan, baik dia itu tetap dalam
bentuk aslinya dalam alam rohani, dan tubuh Nabi SAW yang melepaskan
diri dari bentuk tubuh jasmani menjadi bentuk rohani.
Wahyu Allah SWT yang
disampaikan langsung kepada manusia, dapat dalam bentuk ilham atau
isyarat ke dalam hati, dapat pula lewat mimpi.4
- Wahyu dalam bentuk ilham
- Wahyu kepada Ibunda Nabi Musa
- Wahyu kepada kaum Hawari
- Wahyu kepada Lukman
- Wahyu dalam bentuk mimpi
- Perintah kepada Nabi Ibrahim a.s. untuk menyembelih putranya, Ismail
- Isyarat dengan symbol-simbol yang disampaikan kepada Nabi Yusuf
- Isyarat mimpi kepada penghuni penjara yang ditakwil Nabi Yusuf
- Isyarat mimpi kepada raja Mesir yang kemudian ditakwil oleh Nabi Yusuf
Pewahyuan al-Qur’an
Kita tahu hampir semua
agama besar di dunia, khususnya yang sering di sebut “agama
semitik” (yudaisme, kristianisme, dan islam) yang memang di
sebabkan latar belakang sejarah dan masab yang sama, secara
fundamental bertumpu pada wahyu dan seorang nabi untuk menegaskan
eksistensinya baik secara ontologis maupun legalistiknya. Dalam islam
sendiri, wahyu menjadi salah satu dari tiga pilar utama epistemologi
dalam islam sehingga dapat dikatakan bahwa dalam hal yang menyangkut
konsep dan detail tentang “Wahyu” dan “Nabi”, terkait dan
tidak dapat di pisahkan karena itu, jibril yang di tugaskan sebagai
malaikat pembawa wahyu, turun kepada para Nabi Muhammad SAW
menyampaikan risalah illahi dan ajaran-ajarannya.
Untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih detail maka penulis akan memaparkan bagaimana
konsep wahyu dan pewahyuan dalam pandangan beberapa ulama klasik dan
kontemporer.
- Pewahyuan al-Qur’an dalam kajian ulama’ klasik
Pandangan klasik dalam
hal ini diwakili oleh al-Zarkasyi dengan karya monumentalnya
al-Burhan fi ulum al-Qur’an dan al-Suyuti dengan karyanya al-Itqan
fi ulum al-Qur’an, kedua tokoh penulis ambil menjadi wakil dari
pemikiran klasik dalam bidang ulum al-Qur’an di karenakan mereka
merupakan founding father dalam bidang tersebut yang menggambarkan
prestasi ulama klasik dalam bidang ulum al-Qur’an.
Al-Zarkasyi dalam
karyanya memberikan pembahasan seputar turunnya al-Qur’an, mengenai
turunnya al-Qur’an Lauh al-mahfudz sampai kepada baginda rasulullah
SAW. Dalam hal ini ia menjelaskan ada 3 cara pewahyuan al qur’an:
pertama, pada malam lailatur qadr Allah swt menurunkan Al-Qur’an
sekaligus (anzalahu) dari lauh al mahfudz ke baitul izzah yang berada
di langit dunia (sama’ ad-dunya) secara lengkap dan dalam satu
waktu, kemudian setelah itu baru menurunkannya (wanazalahu) kepada
nabi secara bertahap. Kedua, Al-Qur’an di turunkan pada langit
dunia pada malam lailatul qadr dan di turunkan secara bertahap kepada
nabi Muhammad SAW. Dalam konteks ini setiap tahun yakni pada setiap
malam lailatul qadr Allah SWT menurunkannya sesuai kebutuhan dan
tuntutan tahun tersebut. Dan adapun yang ketiga, yakni Allah SWT
menjadikan malam lailatul qadr sebagai awal di mulai turunnya
Al-Qur’an yang kemudian setelah itu Al-Qur’an di turunkan pada
waktu yang berbeda-beda.
- Pewahyuan Al-Qur’an dalam kajian ulama’ kontemporer
Dalam pembahasan ini,
kami akan menguiraikan pendapat Al-Zarqani, Fazlur Rahman dan Nasr
Hamid Abu Zayd, yang menurut kami mewakili pemikiran modern terhadap
kajian Al-Qur’an terutama mengenai wahyu, ketiga tokjoh ini paling
tidak dalam karya mereka yang paling banyak menyinggung dan mengupas
pembahasan terkait dengan wahyu. Menurut Al Zarqani pewahyuan
Al-Qur’an terjadi dalam tiga tahapan: pertama, Al - Qur’an di
turunkan ke lauh al mahfudz dengan cara hanya bisa di pahami oleh
Allah SWT dan orang yang di beri akses untuk mengetahui wilayah itu,
Pewahyuan seperti ini adalah pewahyuan yang secara umum. Hal ini
mengindikasikan akan adannya wahyu sebelum berada di lauh al mahfudz
namun keberadaannya masih menjadi misteri Allah SWT. Dan hanya Allah
yang mengetahuinnya. Kedua, Al-Qur’an di turunkan ke langit dunia
pada malam lailatul qadr dengan perdebatan pada masa dan lamannya di
turunkan. Namun menurut Al-Zarqani pada tahapan ini Al-Qur’an di
turunkan sekaligus. Adapun yang ketiga disini fungsi malakikat jibril
yakni membawa atau memasukkan wahyu tersebut kedalam hari baginda
Rasulullah SAW.
Dalam pembahasan
menegenai apa yang di bawa atau di turunkan kepada nabi, Al -Zarqani
dengan tegas mengatakan bahwa yang dibawa oleh Malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW adalah kata yang riil yang berpotensi sebagai
mu’jizat dan beliau menolak dengan keras pendapat yang mengatakan
bahwa Nabi Muhammad SAW atau Malaikat Jibril lah yang
memverbalisasikan Al-Qur’an kedalam bahasa arab. Keyakinan dan
ketegasan ini menurut Al-Zarqani didasarkan pada logika dan dalil Al-
Qur’an yang jelas bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang
benar-benar datang dari-Nya baik bentuk maupun makna, Al-Zarqani
melanjutkan pendapatkan sebagai sebuah penegasan bagaimana mungkin
Al-Qur’an menjadi mu’jizat kalau redaksi dan format bahasannya di
buat oleh Nabi Muhammad SAW atau Malakait Jibril? Begitulah Al
Zarqani memberikan klarifikasi mengenai keontetikan dan kemu’jizatan
wahyu Allah kepada para penyanggahnya. Akan tetapi walaupun pewahyuan
kepada nabi dengan menyampaikan kata yang riil, menurut Al Zarqani
tetap melewati atau melalui cara-cara pewahyuan secara umum bagaimana
yang sudah di jelaskan oleh ulama klasik yaitu: untuk kasus pewahyuan
Al-Qur’an lanjut Al Zarqani menempuh jalan yang terakhir yakni
melalui perantara Malaikat Jibril, dengan analisa bahwa semua
perintah pewahyuan itu tetap menjadi tugas dan keikutsertaan Malaikat
Jibril yang mana karena tugasnya itulah dia di ciptakannya.
Jika tawaran pemahaman
yang di tawarkan oleh Al Zarqani masih sangat kental dengan bangunan
argumentasi berdasarkan riwayat (sunnah), maka beda hal nya dengan
tawaran pemahaman dari Abu Zayd. Terkait dengan wahyu, Abu Zayd lebih
memahaminnya sebagai sebuah interaksi sosial budaya, bahwa pewahyuan
itu terjadi tidak dapat terpisahkan dengan budaya arab pada masa itu,
sehingga menjadi suatu keharusan untuk mengkaji bagaimana konteks
sosial kemasyarakatan pada masa itu.
Berangkat dari sebuah
persepsi bahwa Al-Qur’an selalu terkait dengan interaksi antara dua
orang manusia dan Tuhan yang tidak dapat dipisahkan lagi manusia
dengan budayanya membuat dia kemudian lari pada sebuah kesimpulan
bahwa teks Al Qur’an terbentuk dalam sebuah realitas budaya. Dia
kemudian berusaha menelusuri bagaimana proses sebuah komunikasi yang
terjadi pada masa pra-arab antara manusia dan jin. Konsep wahyu
seperti itu bisikan ghaib memiliki keterkaitan erat dengan basis
kultur bahasa yang berkembang di tengah masyarakat arab. Menurut Abu
Zayd, bahwa fenomena wahyu tidak dapat di pisahkan dari realitas
setempat, masyarakat arab sebelum Islam datang telah mengenal model
komunikasi antara manusia dengan alam-alam lain, seperti alam
malaikat dan setan atau jin. Di tengah masyarakat arab, model
komunikasi ini tamoak terlihat jelas dalam kasus sastra (puisi) dan
praktik perdukunan atau yang lebih di kenal dengan isyilah “saj’
al kuhan“ bagi orang arab jin bisa berbicara.
Kepada sastrawan
(penyair) dan membisikan puisi kepadannya. Ramalan yang ia sampaikan
berbentuk ungkapan sastrawi itu bersumber dari jin. Interkasi jin
dengan manusia sebagai mana interaksi Nabi Muhammad SAW dengan
malaikat jibril.
Oleh karena itu, bangsa
arab yang hidup pada saat Al-Qur’an diturunkan tidak mengingkari
fenomena wahyu. Mereka membenarkan adannya malaikat yang turun
membawa kalam Allah kepada manusia. Pengingkaran mereka hanya di
tunjukan pada isi wahyu. Maka tak heran, jika mereka mengkategorikan
Al Qur’an sebagai jenis-jenis tradisi kebangsaan yang sebelumnya
sudah mapan, seperti cerita-cerita masa lalu (asathir al-awwalin),
puisi (syi’r) dan atau ucapan seorang dukun (qaul kahin).
Nasr Hamid menanggapi
bagaimana sebuah komunikasi ideal diatas terjadi pada proses
pewahyuan al-qur’an, yang menurutnya proses pewahyuan harus
dipahami sebagai respon aktual terhadap persoalan-persoalan Nabi
Muhammad SAW dan masyarakat yang melingkupinya. Abu Zayid kemudian
melirik dalam hal ini adalah cara-cara pewahyuan (Kaifiyyah Al-Wahy)
yang terjadi dalam kategori komunikasi horizontal antara Nabi
Muhammad SAW dengan malaikat Jibril. Dalam proses pewahyuan ini
menurutnya yang juga mengutip pendapat Ibnu Khaldun ada dua
kemungkinan: Pertama, Nabi Muhammad SAW yang keluar dari dimensi
kemanusiaannya untuk masuk ke dunia malaikat (alam al-malakut) untuk
menerima wahyu dari malaikat Jibril transformasi yang terjadi pada
Nabi seperti ini lanjutnya dalam dunia filsafat atau sufi dikenal
dengan istilah “aktivitas imajinasi”, bahwa Nabi Muhammad SAW
memiliki sifat atau kekhususannya sebagai seorang Rasulullah
dibandingkan dengan manusia lainnya. Kedua, yang terkenal dalam
hadist Mashyur bahwa malaikat Jibril lah yang masuk kedunia manusia
dengan menampakkan dirinya sebagai sosok laki-laki, komunikasi ini
kemudian berlanjut dengan menggunakan “bahasa manusia” yakni
bahasa Arab. Dalam komunikasi ini terdapat dua dimensi yang berbeda
dimensi Nabi Muhammad SAW sebagai raga insaniyah dan dimensi Jibril
sebagai ruh min amri rabbi, sehingga media yang digunakan pun
berbeda, dalam kondisi pertama yakni Nabi Muhammad SAW.
Mentransformasikan dirinya kealam malaikat medianya berupa simbol,
sehingga wahyu dalam komunikasi ini tarafnya mendekati ilham, adapun
yang kedua yakni ketika jibril yang masuk ke dunia. Dikatakan bahwa
wahyu ialah pemberian secara tersembunyi dan cepat yang khususnya
ditunjukkan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain.
Inilah penertian masdarnya. Tetapi terkadang juga bahwa yang
dimaksudkan adalah al-muha yakni pengertian isim maf’ul, yaitu yang
diwahyukan. Selain itu, wahyu dalam perspektif bahasa (Arab) sebelum
Al-Qur’an diturunkan menunjuk pada setiap proses komunikasi yang
mengandung istilah “transfor informasi”. Dalam kamus lisan
al-Arab wahyu bisa idartikan sebagai ilham, isyarat, tulisan dan
kalam. Al-Raghib menjelaskan asal artinya al-wahy ialah al-isyarah
al-tsariah, yaitu isyarat yang cepat; Amrun Wahiyyun mengandung arti
kecepatan. Adapula yang mengartikan mengisyaratkan atau menunjukkan
dengan kedipan mata atau tangan atau lainnya. Isyarat yang cepat itu
kadang-kadang dengan ucapan, tanda, lambang, atau dengan penampilan,
terkadang pula dengan suara yang sama sekali tidak tersusun, atau
dengan isyarat dengan anggota.
KESIMPULAN
Wahyu
adalah pemberitahuan Allah SWT kepada orang yang dipilih dari
beberapa hamba-Nya mengenai beberapa petunjuk dan ilmu pengetahuan
yang hendak diberitahukan-Nya tetapi dengan cara yang tidak biasa
bagi manusia, baik dengan perantara atau tidak dengan perantara.
Cara
turunnya wahyu ada tiga cara:
Pertama,
dengan cara menambatkan makna isi al-Qur'an tersebut ke dalam hati
Rasulullah SAW, atau dengan cara menghembuskannya ke dalam jiwanya,
sehingga ia merasakan sendiri bahwa apa yangg
diterimannya itu berasal dari Allah SWT.
Kedua,
menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW dari balik tabir, yakni
suara bisikan wahyu disampaikan kepada Nabi SAW dari celah-celah
gemerincingya suara lonceng atau bel.
Ketiga,
dengan cara melalui perantaraan malaikat Jibril AS sebagai pembawa
wahyu-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Suryadilaga, M. Alfatih.
2009. Konsep
Ilmu Dalam Kitab Hadis.
Yogyakarta: TERAS.
Juned, Daniel. 2010. Ilmu
Hadis.
Jakarta: Erlangga.
Rizki, Dian. 2008. Hadis
Tentang Cara-Cara Awal Mula.
Yogyakarta.
Nazmiah. 2011. Pewahyuan
Al-Qur’an Menurut Hisyam Ju’ait.
Yogyakarta.
1
M. Alfatih Suryadilaga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis (Yogyakarta:
TERAS, 2011),hlm 156.
2
Ibid, hlm 156-157.
3
M. Alfatih Suryadilaga, Konsep Ilmu Dalam Kitab Hadis (Yogyakarta:
TERAS, 2011),hlm 158.
4
Daniel Juned, Ilmu Hadis. (Yogyakarta: Erlangga, 2010),
hal.65
0 komentar:
Post a Comment