Saturday, 5 November 2016

Perbandingan Riba Menurut Agama Islam dengan Agama Nasrani

Riba menurut agama Islam
Dalam Al-Qur’an, ayat yang pertama kali berbicara tentang riba adalah surah al-Rum: 39 yang berbunyi:
Artinya:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
Disebut pertama karena turun pada periode Makkah, sedangkan ayat-ayat lain yang berbicara tentang riba turun pada periode Madinah. Pada ayat ini tidak dijelaskan bahwa riba itu dilarang, akan tetapi ayat ini memberi gambaran bahwa riba yang disangka orang menghasilkan penambahan harta, menurut pandangan Allah SWT tidak benar, yang benar adalah zakat yang dapat mendatangkan lipat ganda.
Sebagian mufassir ada yang berpendapat bahwa riba tersebut bukan riba yang diharamkan. Riba dalam ayat ini berupa pemberian sesuatu kepada orang lain yang tidak didasarkan keikhlasan, seperti pemberian hadiah dengan harapan balasan hadiah yang lebih besar. Ulama lain seperti al-Alusi dan Sayyid Qutb memilih pendapat bahwa riba dalam ayat itu adalah tambahan yang dikenal dalam mu’amalah sebagai yang diharamkan oleh Syari’. Kalau Sayyid Rasyid Rida menyatakan bahwa haramnya riba itu semenjak turunnya surah al-Imran: 130.

Ayat-ayat tentang riba sesudahnya adalah surah al-Imran: 130

Artinya:
Hai orang yang beriman, jangan memakan riba dengan berlipat ganda, bertaqwalah kepada Allah agar kamu memperoleh keberuntungan.”
Dan al-Baqarah: 275-280
Artinya:
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan dari Tuhan, lalu terus berhenti dari mengambil riba maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum datang larangan dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang kembali mengambil riba maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala disisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan sisa riba maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. Dan jika orang berhutang itu dalam kesuakara, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Ketegasan tentang larangan riba ada pada surah al-Imran. Larangan riba dalam al-Qur’an datang secara bertahap seperti bertahapnya larangan minum khamr. Mengenai kapan turunnya ketegasan larangan riba surah al-Imran: 130 dapat ditelusuri dari penuturan Ibn Hasyim dalam Sirah-nya. Diketahui bahwa ayat tersebut turun dalam perang Uhud. Diantara ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT pada hari perang Uhud, ada 60 ayat surah al-Imran yaitu dari ayat 121, jadi ayat 130 terhitung dan termasuk 60 ayat yang turun. Dalam perang Uhud, orang Yahudi seharusnya ikut siap mempertahankan Madinah dari serangan pihak luar sesuai dengan isi Piagam Madinah, tetapi melepaskan tanggung jawab ini bahkan mengambil kesempatan memberi pinjaman dengan riba kepada orang Islam untuk mempersiapkan perang tersebut. Al-Alusi dan Sayyid Rasyid Rida mengutip keterangan al-Qaffal bahwa mungkin ayat ini berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Isinya bahwa orang-orang musyrik membantu tentara dengan harta yang mereka kumpulkan dari hasil riba. Hal ini dapat merangsang orang Islam melakukan hal yang sama.
Surah al-Baqarah ayat 278-280 sebagai ayat riba yang terakhir turun, tampaknya tidak ada yang membantah. Berbagai riwayat yang dikutip oleh para mufassir ketika mereka menjelaskan sebab turunnya kelompok ayat ini menyebut bahwa ayat tersebut merupakan ketegasan atas peragaan riba yang ditampilkan antara penduduk Makkah dengan penduduk Ta’if.

Riba menurut agama Nashrani
Umat Nashrani secara tegas mengharamkan riba bagi semua orang, tanpa membeda-bedakan dari kalangan Nashrani maupun non-Nashrani. Tokoh-tokoh Gereja sepakat berpegang kepada ketetapan-ketetapan agama yang ada pada mereka. Pendeta Skuba berkata: “Siapa saja berpendapat riba bukan perbuatan haram berarti termasuk orang mulhit, orang yang keluar dari agama.” Dikatakan di dalam kitab Injil Lukas ayat 34 dan 35: “Jika kamu menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka dimana sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah pinjaman dengan tidak mengharapkan kembaliannya. Karena pahala kamu akan sangat banyak.” Dengan bukti tersebut sudah sangat jelas bahwa agama Nashrani mengharamkan apa itu riba.
Tetapi ada pihak yang menghalalkan riba yaitu periba bahwa keuntungan yang diberikan sebagai imbalan administrasi dan organisasi. Ada juga yang berkata bahwa sebagian tokoh Gereja membenarkan keuntungan semacam ini, karena dianggap sebagai biaya organisasi, dan bukan keuntungan dari hutang. Martin Luther, tokoh gerakan Protestan secara mutlak mengharamkan adanya keuntungan semacam itu, baik sedikit maupun banyak, sekalipun dalam bentuk penjualan kredit, jika harganya lebih mahal daripada harga tunai. Ia menegaskan hal semacam itu termasuk riba yang seringkali mengatasnamakan perdagangan. Luther telah menulis risalah tentang Riba dan Perdagangan: “Ada banyak orang yang tidak menghiraukan hati nuraninya dalam melakukan jual beli barang-barangnya dengan kredit yang harganya jauh lebih mahal dari harga kontan. Bahkan banyak orang yang tidak mau menjual barangnya dengan harga kontan dan lebih suka menjual semua barangnya dengan sistem kredit yang harganya lebih mahal. Transaksi semacam ini menyalahi perintah Allah, akal sehat dan kebenaran. Sama dengan perbuatan ini pedagang yang menaikkan harga dagangannya karena berkurangnya persediaan barang atau pedagang yang membeli semua barang untuk ditimbun kemudian memainkan harga pasar.” Menimbun barang untuk memperoleh harga yang mahal sebenarnya sama dengan riba dan menjatuhkan harga barang yang dimilikinya untuk merusak harga pasar sehingga menghancurkan pihak lain adalah haram. Permainan harga pasar ini dinilai haram karena bisa menyebabkan terjadinya spekulasi dan menumpuknya barang pada beberapa tangan. Keuntungan dagang sekecil apapun yang diperoleh dengan cara semacam itu adalah haram.
Riba telah tersebar di Eropa dan meluas ke seluruh dunia, faktor penyebabnya:
  1. Kalangan Nashrani beranggapan agama itu hanya terbatas di Gereja saja, dan urusan materi diatur oleh undang-undang kehidupan (kemasyarakatan), sedangkan jiwa mereka telah dikuasai oleh semangat kebendaan.
  2. Mereka beranggapan bahwa keuntungan yang sedikit merupakan upah administratif dan organisasi. Dan keuntungan ini pun untuk membelanjai tokoh-tokoh agama dan kaum agama pada umunya.
  3. Anggapan para ekonom bahwa keuntungan yang sedikit tidak menyalahi tuntunan akhlak dan tidak menyebabkan semangat kerakusan serta memperkuat permodalan dalam bidang produksi. Sehingga Adam Smith (1723-1790) yang dikenal sebagai bapak ekonomi menganggap patut memungut keuntungan sedikit dalam pemberian hutang. Ia beranggapan keuntungan sedikit ini dapat mendorong para kreditur untuk memanfaatkan hartanya yang tersimpan dan tidak membebaninya dengan berbagai macam pungutan pajak. Karena mereka tertarik untuk mengeluarkan hartanya yang tersimpan ke pasaran daripada menyia-nyiakannya.
Kesimpulan
Riba dalam agama Islam dan agama Nashrani hukumnya sama yaitu haram. Meskipun dalam memutuskan tentang halal atau haramnya riba menuai perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam agama Islam dan pihak Gereja dengan kaum periba dalam agama Nashrani, kedua agama tersebut bersepakat bahwa riba hukumnya adalah haram. Jika agama Islam didasarkan pada kitab al-Qur’an yang sudah jelas arti dari ayat tersebut Allah mengharamkan riba, dan pada agama Nashrani didasarkan pada kitab Injil Lukas.



0 komentar:

Post a Comment