Riba
menurut agama Islam
Dalam
Al-Qur’an, ayat yang pertama kali berbicara tentang riba adalah
surah al-Rum: 39 yang berbunyi:
Artinya:
“Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa
yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai
keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya).”
Disebut pertama karena
turun pada periode Makkah, sedangkan ayat-ayat lain yang berbicara
tentang riba turun pada periode Madinah. Pada ayat ini tidak
dijelaskan bahwa riba itu dilarang, akan tetapi ayat ini memberi
gambaran bahwa riba yang disangka orang menghasilkan penambahan
harta, menurut pandangan Allah SWT tidak benar, yang benar adalah
zakat yang dapat mendatangkan lipat ganda.
Sebagian mufassir ada
yang berpendapat bahwa riba tersebut bukan riba yang diharamkan. Riba
dalam ayat ini berupa pemberian sesuatu kepada orang lain yang tidak
didasarkan keikhlasan, seperti pemberian hadiah dengan harapan
balasan hadiah yang lebih besar. Ulama lain seperti al-Alusi dan
Sayyid Qutb memilih pendapat bahwa riba dalam ayat itu adalah
tambahan yang dikenal dalam mu’amalah
sebagai yang diharamkan oleh Syari’. Kalau Sayyid Rasyid Rida
menyatakan bahwa haramnya riba itu semenjak turunnya surah al-Imran:
130.
Artinya:
“Hai
orang yang beriman, jangan memakan riba dengan berlipat ganda,
bertaqwalah kepada Allah agar kamu memperoleh keberuntungan.”
Dan
al-Baqarah: 275-280
Artinya:
“Orang-orang
yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata,
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah
sampai kepada mereka larangan dari Tuhan, lalu terus berhenti dari
mengambil riba maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu sebelum
datang larangan dan urusannya terserah kepada Allah. Orang yang
kembali mengambil riba maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal didalamnya. Allah memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang
yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan
menunaikan zakat, mereka mendapat pahala disisi Tuhan mereka. Tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.
Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan sisa riba maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat dari pengambilan riba, maka bagimu pokok hartamu; kamu
tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. Dan jika orang berhutang
itu dalam kesuakara, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan.
Dan menyedekahkan sebagian atau semua hutang itu, lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.”
Ketegasan tentang
larangan riba ada pada surah al-Imran. Larangan riba dalam al-Qur’an
datang secara bertahap seperti bertahapnya larangan minum khamr.
Mengenai kapan turunnya ketegasan larangan riba surah al-Imran: 130
dapat ditelusuri dari penuturan Ibn Hasyim dalam Sirah-nya.
Diketahui bahwa ayat tersebut turun dalam perang Uhud. Diantara
ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT pada hari perang Uhud, ada 60
ayat surah al-Imran yaitu dari ayat 121, jadi ayat 130 terhitung dan
termasuk 60 ayat yang turun. Dalam perang Uhud, orang Yahudi
seharusnya ikut siap mempertahankan Madinah dari serangan pihak luar
sesuai dengan isi Piagam Madinah, tetapi melepaskan tanggung jawab
ini bahkan mengambil kesempatan memberi pinjaman dengan riba kepada
orang Islam untuk mempersiapkan perang tersebut. Al-Alusi dan Sayyid
Rasyid Rida mengutip keterangan al-Qaffal bahwa mungkin ayat ini
berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Isinya bahwa orang-orang
musyrik membantu tentara dengan harta yang mereka kumpulkan dari
hasil riba. Hal ini dapat merangsang orang Islam melakukan hal yang
sama.
Surah al-Baqarah ayat
278-280 sebagai ayat riba yang terakhir turun, tampaknya tidak ada
yang membantah. Berbagai riwayat yang dikutip oleh para mufassir
ketika mereka menjelaskan sebab turunnya kelompok ayat ini menyebut
bahwa ayat tersebut merupakan ketegasan atas peragaan riba yang
ditampilkan antara penduduk Makkah dengan penduduk Ta’if.
Riba
menurut agama Nashrani
Umat Nashrani secara
tegas mengharamkan riba bagi semua orang, tanpa membeda-bedakan dari
kalangan Nashrani maupun non-Nashrani. Tokoh-tokoh Gereja sepakat
berpegang kepada ketetapan-ketetapan agama yang ada pada mereka.
Pendeta Skuba berkata: “Siapa saja berpendapat riba bukan perbuatan
haram berarti termasuk orang mulhit, orang yang keluar dari agama.”
Dikatakan di dalam kitab Injil Lukas ayat 34 dan 35: “Jika kamu
menghutangi kepada orang yang engkau harapkan imbalannya, maka dimana
sebenarnya kehormatan kamu. Tetapi berbuatlah kebaikan dan berikanlah
pinjaman dengan tidak mengharapkan kembaliannya. Karena pahala kamu
akan sangat banyak.” Dengan bukti tersebut sudah sangat jelas bahwa
agama Nashrani mengharamkan apa itu riba.
Tetapi ada pihak yang
menghalalkan riba yaitu periba bahwa keuntungan yang diberikan
sebagai imbalan administrasi dan organisasi. Ada juga yang berkata
bahwa sebagian tokoh Gereja membenarkan keuntungan semacam ini,
karena dianggap sebagai biaya organisasi, dan bukan keuntungan dari
hutang. Martin Luther, tokoh gerakan Protestan secara mutlak
mengharamkan adanya keuntungan semacam itu, baik sedikit maupun
banyak, sekalipun dalam bentuk penjualan kredit, jika harganya lebih
mahal daripada harga tunai. Ia menegaskan hal semacam itu termasuk
riba yang seringkali mengatasnamakan perdagangan. Luther telah
menulis risalah tentang Riba dan Perdagangan: “Ada banyak orang
yang tidak menghiraukan hati nuraninya dalam melakukan jual beli
barang-barangnya dengan kredit yang harganya jauh lebih mahal dari
harga kontan. Bahkan banyak orang yang tidak mau menjual barangnya
dengan harga kontan dan lebih suka menjual semua barangnya dengan
sistem kredit yang harganya lebih mahal. Transaksi semacam ini
menyalahi perintah Allah, akal sehat dan kebenaran. Sama dengan
perbuatan ini pedagang yang menaikkan harga dagangannya karena
berkurangnya persediaan barang atau pedagang yang membeli semua
barang untuk ditimbun kemudian memainkan harga pasar.” Menimbun
barang untuk memperoleh harga yang mahal sebenarnya sama dengan riba
dan menjatuhkan harga barang yang dimilikinya untuk merusak harga
pasar sehingga menghancurkan pihak lain adalah haram. Permainan harga
pasar ini dinilai haram karena bisa menyebabkan terjadinya spekulasi
dan menumpuknya barang pada beberapa tangan. Keuntungan dagang
sekecil apapun yang diperoleh dengan cara semacam itu adalah haram.
Riba
telah tersebar di Eropa dan meluas ke seluruh dunia, faktor
penyebabnya:
- Kalangan Nashrani beranggapan agama itu hanya terbatas di Gereja saja, dan urusan materi diatur oleh undang-undang kehidupan (kemasyarakatan), sedangkan jiwa mereka telah dikuasai oleh semangat kebendaan.
- Mereka beranggapan bahwa keuntungan yang sedikit merupakan upah administratif dan organisasi. Dan keuntungan ini pun untuk membelanjai tokoh-tokoh agama dan kaum agama pada umunya.
- Anggapan para ekonom bahwa keuntungan yang sedikit tidak menyalahi tuntunan akhlak dan tidak menyebabkan semangat kerakusan serta memperkuat permodalan dalam bidang produksi. Sehingga Adam Smith (1723-1790) yang dikenal sebagai bapak ekonomi menganggap patut memungut keuntungan sedikit dalam pemberian hutang. Ia beranggapan keuntungan sedikit ini dapat mendorong para kreditur untuk memanfaatkan hartanya yang tersimpan dan tidak membebaninya dengan berbagai macam pungutan pajak. Karena mereka tertarik untuk mengeluarkan hartanya yang tersimpan ke pasaran daripada menyia-nyiakannya.
Kesimpulan
Riba dalam agama Islam
dan agama Nashrani hukumnya sama yaitu haram. Meskipun dalam
memutuskan tentang halal atau haramnya riba menuai perbedaan pendapat
dari kalangan ulama dalam agama Islam dan pihak Gereja dengan kaum
periba dalam agama Nashrani, kedua agama tersebut bersepakat bahwa
riba hukumnya adalah haram. Jika agama Islam didasarkan pada kitab
al-Qur’an yang sudah jelas arti dari ayat tersebut Allah
mengharamkan riba, dan pada agama Nashrani didasarkan pada kitab
Injil Lukas.
0 komentar:
Post a Comment