BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Kritik
Marx terhadap kapitalisme bertujuan untuk mengunkapkan bahwa manusia
yang dalam teori Quesnay sampai dengan John Stuart Mill dilihat
sebagai subjek ekonomi, sekarang ternyata terseret menjadi objek
ekonomi. Kritik tersebut tentu tidak menegaskan bahwa ekonomi harus
menyeret manusia ke dalam kemelaratan ekonomi, sebaliknya, justru
memiliki motif yang kuat untuk melihat manusia sebagi subjek ekonomi.
Secara sederhana, Marx sebenarnya ingin mengusulkan agar para pekerja
diapresiasi berdasarkan sumbangannya dalam proses produksi. Karena
itu, pada inti dari kritik Marx, kita dapat menemukan suatu gagasan
baru mengenai ekonomi, yaitu suatu ekonomi yang memberi perhatian
pada masalah kesejahteraan dan keadilan sosial.
Gagasan
seperti ini sebenarnya tidak perlu dikaitkan dengan nama Marx itu
sendiri. Jauh sebelum Marx, Lord Lauderdale dan J.C.L. Simonde de
Sismondi telah mengajukan kritik yang tajam terhadap kapitalisme
Liberal. Usul konkret mereka adalah pembatasan terhadap prinsip
laissez
faire dalam
bisnis, sehingga ekonomi dapat memberi ruang bagi kesejahteraan
bersama. Kritik yang sama juga disampaikan oleh tokoh nasionalis
seperti Adam Mueller. Ia berpendapat bahwa negara adalah sebuah unit
ekonomi. Pemerintah boleh intervensi dalam setiap kegiatan ekonomi
untuk tujuan negara. Kelompok yang ketiga adalah pendekatan yang
disajikan oleh Stuart Simon, yang melihat ekonomi harus benar-benar
sosialis (sebagai lawan dari individualisme total). Inilah inti dari
apa yang dewasa ini disebut sebagai ekonomi sosial.
J.C.L.
Simonde de Sismondi , seorang ekonom kelahiran Jenewa, Swiss memiliki
pemikiran pada usaha pembatasan terhadap prinsip laissez
faire. Melalui
bukunya yang berjudul: New
Principles of Political Economy, or of Wealth in Its Relation to
Population,
Sismondi menjadi terkenal dengan pemikiran bahwa suatu ekonomi yang
dibangun di atas basis pembatasan prinsip laissez-faire,
dapat memaksimalisasikan kesejahteraan manusia. Ekonomi, sebagaimana
ia menjelaskan, harus mampu memberi perhatian pada martabat manusia
sebagai manusia.
- Rumusan Masalah
- Bagaimanakah pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi tentang Ekonomi Sosial?
- Bagaimanakah konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi tentang masalah moral ekonomi?
- Bagimanakah konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sisimondi mengenai kebaikan bersama sebagai tujuan ekonomi?
- Bagaimanakah konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi mengenai kritik terhadap ekonomi pasar?
- Tujuan
- Mengetahui konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sisimondi mengenai ekonomi social.
- Mengetahui konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi tentang masalah moral ekonomi.
- Mengetahui konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi mengenai kebaikan bersama sebagai tujuan ekonomi.
- Mengetahui konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi mengenai kritik terhadap ekonomi pasar.
BAB II
PEMBAHASAN
- J.C.L. SIMONDE DE SISMONDI DAN EKONOMI SOSIAL
- Sismondi dan Masalah Moral Ekonomi
Awalnya
Sismondi merupakan seorang pengikut Adam Smith. Karyanya yang
berjudul De
la richesse Commerciale
(1803). Boleh dikatakan sebagai sebuah ringkasan yang diperuntukkan
bagi pembaca berbahasa Perancis, untuk memahami konsep kemakmuran
bangsa sebagaimana dikembangkan Smith. Konsep Smith tentang fixed
capital
(tanah, gedung industry, sarana transportasi) dan circulating
capital
(keuntungan yang diperoleh karena perdagangan) dikembangkan baik
dalam buku ini.
Namun,
dalam buku ini kita tidak hanya menemukan laudatio
atas pemikiran Smith. Secara langsung, kita juga melihat bagaimana ia
mulai menunjukkan titik perbedaannya dengan Smith, ketika Sismondi
berbicara tentang gaji yang tidak adil itu, Sismondi menunjukkan
simpatinya pada pekerja pabrik. Ia menulis, tidak ada seorangpun yang
memiliki kepekaan, yang tak bersedih melihat suatu kelas masyarakat
yang sangat berjasa bagi masyarakat tetapi ternyata tidak memiliki
apa-apa. Dengan simpati seperti ini, ia mengkritik privilese
pemilik tanah dan pemilik modal atas seluruh surplus-keuntungan.
Kritik
yang sama ini menjadi inti dari karyanya selanjutnya, terutama
bukunya yang berjudul New
Principles of Political Economy,
yang terbit tahun 1819 dan kemudian mengalami edisi perbaikan pada
tahun 1827. Pada bagian pertama dari buku ini, Sismondi berbicara
tentang masalah yang sudah lama dibicarakan oleh para ekonom pada
zamannya, yaitu masalah over produksi dan masalah rendahnya kemampuan
konsumsi. Dalam hal over produksi, Sismondi mengkritik pandangan yang
sudah lama dikembangkan oleh Ricardo dan J.S. Mill bahwa pasti akan
ada keseimbangan antara produksi (penawaran) dan permintaan. Menurut
Sismondi, semua kegiatan produksi tidak selalu proporsional dengan
permintaan konsumen. Jika konsumen tidak memiliki kemampuan untuk
membeli lagi maka terjadilah apa yang disebut dengan overproduksi.
Pada
bagian kedua dari buku ini, Sismondi menggagas dimensi social-politik
ekonomi. Dalam dimensi ini, Sismondi berpendapat bahwa ekonomi tidak
dibangun di atas perhitungan yang “bebas nilai”, melalui
pendekatan matematik yang disimpulkan dari aksioma yang sangat umum,
melainkan dibangun di atas study tentang manusia dan masyarakat.
Dengan kata lain, ekonomi selalu berangkat dari sebuah konteks
persoalan yang dihadapi manusia dan masyarakat. Ekonomi bukanlah ilmu
matematis melainkan suatu ilmu moral, suatu ilmu yang memiliki tujuan
menciptakan kesejahteraan manusia. Ilmu itu tidak cukup berbicara
tentang angka, melainkan memfokuskan perhatiaannya pada perasaan,
kebutuhan, dan hasrat manusia. Dengan fokus pehatian ini, Sismondi
memandang ekonomi dari persoalan ekonomi politik bukan pertumbuhan
ekonomi, yaitu bagaimana kekayaan tersebut dinikmati dan bagaimana
penyebaran kekayaan itu terjadi dalam masyarakat. Bagi Sismondi,
ekonomi harus menciptakan kebahagiaan manusia. Ia harus membangun
dirinya menjadi ilmu untuk manusia, menggantikan ekonomi sebagai ilmu
demi kekayaan. Ia berpendapat, bahwa kita akan keliru jika kita hanya
memperhatikan kekayaan secara abstrak, kemudian bangga dengan angka
yang menakjubkan tentang kekayaan tersebut.
Maka
bagi Sismondi, yang paling penting dalam ekonomi adalah persoalan
keadilan ekonomi; inti persoalannya adalah bagaimana mendorong agar
kekayaa negara dinikmati oleh seluruh rakyat, termasuk oleh mereka
yang miskin. Kriteria minimal untuk ini adalah terpenuhinya semua
kebutuhan material pokok semua orang, terlebih oleh para pemilik
perusahaan yang memperkerjakan banyak orang. Dengan pertimbangan ini,
ekonomi, menurut Sismondi, tidak lain dari suatu manajemen untuk
menciptakan kebahagiaan bagi semua orang. Peran pemerintah dalam hal
ini tidak lebih dari pelindung kaum miskin, suatu cita-cita yang tak
pernah terpikirkan dalam ekonomi Liberal berdasarkan Laissez-faire.
Dalam
rangka mempertahankan gagasan ini, Sismondi mencoba mengkritik
pandangan ekonomi sebelumnya, yang memfokuskan perhatiannya pada
kepentingan konsumen memproduksi barang sebanyak mungkin sehingga
konsumen dapat membelinya semurah mungkin. Menurut Sismondi,
argumentasi ini bersifat ironis, karena pada akhirnya kepentingan
pengusaha yang diutamakan. Membuat barang menjadi lebih murah, dalam
kenyataan, selalu berarti bahwa pekerja yang memproduksi barang akan
menjadi korban. Inilah dasar yang membuat Sismondi menaruh perhatian
pada kepentingan mereka yang terlibat dalam proses produksi. Sismondi
berpendapat bahwa inti ekonomi sosial adalah kepastian bahwa setiap
orang yang bekerja dalam proses prosuksi mendapatkan haknya atas
kebutuhan pokok.
- Institusi Ekonomi Sosial
Ekonomi
sosial merupakan sebuah konsep alternatif yang mengusahakan
kesejahteraan bersama. Sismondi melihat pentingnya keterlibatan
banyak pihak. Ekonomi adalah kegiatan yang melibatkan berbagai macam
institusi. Kesejahteraan bersama adalah urusan bersama.
Kesejahteraan
bersama mengandaikan beberapa institusi sosial ekonomi berikut ini.
Yang pertama adalah hak milik atas tanah. Bagi Sismondi, hak milik
bukan sesuatu yang buruk dalam pemikiran ekonomi sosial. Sebaliknya,
hak milik merupakan syarat yang penting bagi kesejahteraan bersama.
Hak tersebut memberi jaminan agar tiap orang dalam masyarakat tidak
mati kelaparan karena kekurangan makanan atau kedinginan karena tidak
memiliki rumah dan pakaian yang cukup. Namun, hak milik memiliki
batasnya, karena pamakaiannya memiliki dimensi sosial. Dalam situasi
jurang antara kaya dan miskin sangat lebar, maka hak milik tidak
mutlak. Ia harus dibatasi dengan pajak, sehingga yang miskin masih
mendapatkan garansi sosial untuk hidup sebagai manusia yang layak
dalam masyarakat. Institusi hak milik, menurut pandangan Sismondi,
tidak bertujuan memaksimalisasi keuntungan saja. Lebih dari itu,
penggunaan hak milik bertujuan untuk kebaikan banyak orang.
Yang
kedua adalah institusi industri. Sismondi mengusulkan agar institusi
industri dapat memperhatikan kepentingan yang lebih luas bagi
masyarakat. Industri bukan sekedar industri ekonomi untuk melayani
kepentingan individual, melainkan kepentingan bersama, menyangkut
seluruh seginya, seperti kondisi sosial para pekerja dan lingkungan
alam serta lingkungan sosial, dimana industri beroperasi.
Institusi
yang terakhir adalah pemerintah. Sismondi secara tegas menolak
prinsip Laissez-faire
dan mendukung peranan pemerintah. Tugas pemerintah adalah
mengembangkan prasarana umum yang memudahkan komunikasi dan
mobilisasi fisik melalui penggunaan pajak. Tugas utama institusi ini
adalah menjadi pelindung bagi orang miskin dan lemah dalam
masyarakat.
- Ekonomi Untuk Manusia
Tujuan
utama ekonomi sosial sebagaimana dirintis Sismondi adalah agar
ekonomi menaruh perhatian yang serius pada persoalan manusia sebagai
keseluruhan. Gagasan humanisme ekonomi Sismondi ini secara lebih
eksplisit dikembangkan oleh John A. Hobson (1859-1942). Ekonomi,
demikian menurut Hobson, harus berubah menjadi suatu ilmu yang
benar-benar berbicara tentang kesejahteraan manusia. Ada dua argument
yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kepuasan dan bisnis
harus diukur dengan standar yang lebih manusiawi. Dalam ekonomi
pasar, uang sering dipakai sebagai indikator kesejahteraan sosial.
Tetapi, persoalannya adalah uang tidak mampu menjelaskan kuaulitas
hidup.
Kedua,
jika standar kapuasan diukur menurut standar yang lebih manusiawi,
standar tersebut harus bisa menjelaskan kebaikan riil hidup manusia
sebagai keseluruhan. Dengan asumsi dasar ini, Hobson mengatakan bahwa
ekonomi sebagai ilmu, tunduk pada nilai atau etika. Ia menjelaskan
bahwa, jika kita melakukan penelitian, kita akan digerakkan oleh
suatu motif yang lebih luas dari data yang kita selidiki. Begitu juga
dengan ekonomi. Ekonomi sebagai ilmu tidak pernah bebas nilai. Jika
kita ingin membangun suatu ekonomi yang sesuai dengan fakta
kemanusiaan kita serta berbagai kemungkinannya, kita mau tidak mau
perlu berpikir tentang nilai yang melampaui fakta yang ada. Ilmu
ekonomi adalah ilmu sosial, di mana setiap pengetahuan tentang fakta
berarti suatu pengetahuan tentang dimensi etis dari fakta itu.
Hobson
melihat bahwa penilaian moral dan etis, merupakan penilaian yang
dapat diterima akal sehat. Kebenaran moral, jelas Hobson, bukanlah
kebenaran yang hanya dihayati secara emosional. Kebenaran tersebut
memiliki basisnya pada penalaran rasional yang sehat. Kejujuran,
misalnya, berkaitan dengan penghargaan kita kepada kebenaran,
pendasaran tersebut bersifat rasional.
- KEBAIKAN BERSAMA
- Kebaikan Bersama Sebagai Tujuan Ekonomi
Sismondi dan Hobson
menunjukkan, bahwa ekonomi sosial merupakan suatu sistem ekonomi yang
didasarkan pada prinsip kebaikan bersama, di atasnya, produksi barang
dan layanan dapat ditangani sedemikian rupa sehingga kemakmuran
manusia dapat dimaksimalkan.
Dalam pemikiran
ekonomi sosial, kebaikan bersama diartikan sama dengan kepentingan
bersama anggota masyarakat. Secara lebih operasional, tugas ekonomi
sosial adalah memberi kesempatan kepada setiap anggota masyarakat
untuk merealisasikan kepentingan bersama, sehingga kebutuhan dasarnya
sebagai anggota masyarakat terpenuhi.
Gagasan
ini sebenarnya sudah lama berkembang dalam tradisi pemikiran
Republikanis, sebagaimana dikembangkanoleh filsuf Yunani Kuno,
seperti Plato dan Aristoteles, dan filsuf abad pertengahan, seperti
Thomas Aquinas. Inti dari gagasan Republikanis terletak pada gagasan
kewarganegaraan, suatu gagasan tentang pengikutsertaan seluruh warga
dalam untung dan malang, dalam kegembiraan dan kemalangan, atau lebih
tepat lagi, dalam nasib yang sama. Prinsip kewarganegaraan ini
dirumuskan dengan baik sekali oleh J.J Rousseau dengan istilah
persamaan. Dalam hal ekonomi, pemerintah, menurut Rousseau,
berkewajiban untuk menciptakan persamaan itu. Tugas terpenting
pemerintah, jelasnya, adalah menghindari ketidaksaan ekstrem yang
diberikan oleh nasib. Tugas tersebut tidak dilaksanakan dengan
sekedar mendirikan sekolah dan rumah sakit bagi kaum miskin,
melainkan menjamin dan melindungi agar setiap warga negara tidak
menjadi miskin. Tradisi Republikanis menjelaskan, bahwa kebaikan
bersama bukanlah jumlah dari kesejahteraan individu. Mereka
menjelaskannya sebagai sejumlah syarat yang memungkinkan agar setiap
orang dapat mengusahakan kesejahteraan menurut kemampuannya.
Berkaitan
dengan poin terakhir ini, ekonomi sosial, yang memberi perhatian pada
kebaikan bersama itu, mengusulkan agar seluruh kebijakan ekonomi
tidak indeferen terhadap berbagai pertimbangan etis mengenai
kedudukan moral setiap warga negara. Setiap orang dalam masyarakat
adalah sama-sama warga masyarakat, bukan sekedar konsumen (dalam hal
ini sebagai sarana/alat) yang dapat dimanipulasikan. Dengan demikian,
ekonomi sosial berurusan dengan masalah moral, masalah keadilan, dan
masalah distribusi kemakmuran dan pendapatan. Leon Walras, seorang
ahli ekonomi yang mencoba membangun ekonomi matematis, menyetujui
gagasan ini. Jika di sana ada ilmu yang melihat keadilan sebagai
prinsipnya, demikian Walras, ilmu tersebut adalah ilmu mengenai
distribusi kekayaan sosial. Kita boleh menyebutnya sebagai ekonomi
sosial.
Dengan
alasan ini, ekonomi sosial boleh dikatakan sebagai suatu ilmu
normatif, suatu ilmu yang tidak hanya berhenti paa deskripsi tentang
fakta ekonomi, tetapi lebih dari itu, mencoba mencari norma bagi
kebijakan dan institusi ekonomi yang baik, yang dapat menjamin
kebaikan bersama.
- Unsur Kebaikan Bersama
- Kebutuhn Dasar Manusia
Unsur
pertama ekonomi sosial adalah perhatiannya pada kebutuhan dasar
manusia. Secara umum, ilmu ekonomi menjelaskan kebutuhan dasar
manusia sebagai kebutuhan yang dianggap sungguh niscaya sehingga
seorang manusia dapat hidup sebagai manusia. Lalu, apa yang dimaksud
dengan kebutuhan “niscaya” tersebut.
Para
ahli ekonomi sosial mengacu pada apa yang dikatakan oleh Aristoteles
dalam Etika Nikomachea bahwa kebutuhan dasar mengangkut semua dimensi
yang dimiliki manusia. Ini berarti manusia kebutuhan manusia untuk
menjadi manusia (aktualisasi diri sebagai manusia) memiliki tingkat
yang sepadan dengan kebutuhan manusia, mulai dari taraf kebutuhan
material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima oleh masyarakat),
hingga kebutuhan untuk menjadi diri sendiri.
Pemikiran
Aristoteles tersebut memiliki implikasi penting bagi kebijakan
ekonomi. Artinya, ekonomi harus memberi ruang agar setiap warga
mengusahakan kebutuhan dasarnya, dan berhasil mendapatkannya. Setiap
orang berhak untuk secara leluasa mengambil inisiatif untuk memenuhi
kebutuhannya, seperti mendapatkan hidup yang sehat, dengan makanan,
pakaian, rumah, dan fasilitas kesehatan yang memadahi.
Semuanya
itu merupakan sarana yang memadahi agar seseorang menjadi dirinya
sendiri. Jika otonomi dimengerti sebagai kemampuan untuk mengatur
diri sendiri berdasarkan kebebasan yang dimilikinya, maka dalam
bahasa ekonomi sosial, otonomi tersebut berarti seseorang tidak
memiliki ketergantungan pada tingkat kebutuhan subsisten. Sebaliknya,
pemenuhan atas kebutuhan tersebut menjadi persyaratan bagi seseorang
untuk menjadi dirinya sendiri dan menjadi warga negara yang
mandiri.Tanpa itu seseorang tidak pernah menjadi nomos atau norma
bagi dirinya sendiri.
- Martabat Manusia
Gagasan
mengenai martabat manusia merupakan sebuah konsep klasik dalam
filsafat ekonomi. Immanuel Kant telah merumuskan konsep ini dalam
rumusan yang amat sederhana: setiap manusia harus diperlakukan
sebagai manusia. Ia adalah tujuan pada dirinya sendiri, dan karena
itu, tidak boleh diperlakukan sebagai sarana semata-mata untuk
kepentingan lain diluar dirinya sendiri. Dengan demikian, martabat
manusia merupakan gagasan filosofis yang menjelaskan bahwa
berdasarkan kelahirannya, setiap manusia adalah sama martabatnya di
hadapan orang lain. Martabat sebagai manusia tidak semata-mata
ditentukan oleh kebudayaan, melainkan oleh kodratnya sebagai manusia.
Dengan demikian, martabat manusia merupakan suatu norma yang
universal. Setiap anggota suatu masyarakat memiliki klaim yang sama
atas martabatnya sebagai manusia, dan karena itu, menuntut agar ia
diperlakukan sesuai dengan martabatnya tersebut. Setiap orang
memiliki hak untuk dihargai dan diperlakukan sebagai pribadi.
- Mengembangkan Kebaikan Bersama
Kebaikan
bersama adalah kebaikan yang harus dibagi secara bersama dalam sebuah
masyarakat, sehingga setiap orang mendapatkan hak atas kebebasan,
kesempatan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, dan penghargaan atas
martabatnya sebagai manusia. Untuk menjamin kebaikan tersebut, para
pemikir ekonomi sosial memberi beberapa catatan berikut ini.
Pertama,
kebaikan bersama adalah sebuah gagasan normative untuk menjelaskan
bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar,
dan mengaktulisasikan dirinya dalam kebersamaan dengan orang lain,
dalam sebuah masyarakat. Ini berarti hak dasar tersebut tidak perlu
ditafsir secara individulistis, tetapi dilihat dalam rangka
kebersamaan, dalam hubungan timbal balik dengan hak orang lain. Hak
yang diperjuangkan dalam ekonomi sosial bertujuan agar setiap orang
dibantu untuk hidup sebagai manusia dalam masyarakat. Sebagai
balasannya, terhadap bantuan sosial tersebut seseorang juga harus
menghormati hak orang lain. Jadi, konsep hak berkaitan dengan konsep
kewajiban. Ekonomi sosial berasumsi bahwa kita hidup dalam suatu
komunitas hak.
Kedua,
berkaitan dengan gagasan hak tersebut di atas, secara lebih khusus
ekonomi sosial memberi perhatian yang khusus pada hak ekonomi. Hak
ekonomi yang dimaksud, meliputi hak pemenuhan atas kebutuhan hidup;
hak demokrasi ekonomi, yaitu setiap warga negara memiliki hak yang
sama untuk berusaha; dan hak generasi yang akan datang untuk
mendapatkan jaminan akan kecukupan hidup dan martabatnya sebagai
manusia. Hak pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa
manusia adalah makhluk biologis yang yang memiliki kebutuhan dasar
biologis, seperti kecukupan makanan, perlindungan, pakaian, dan
perawatan medis, serta pendidikan. Sedangkan hak demokrasi ekonomi,
bertolak dari gagasan bahwa setiap orang memiliki martabatnya sebagai
manusia (karena itu tidak dibenarkan perhambaan dalam dunia kerja),
dan hak generasi yang akan datang didasarkan pada pemikiran bahwa
ekonomi kita harus memiliki prospek jangka panjang, tidak semata-mata
menjawab kebutuhan sekarang ini.
Ketiga,
dalam sistem ekonomi sosial, negara memiliki fungsi melindungi
segenap warga negara sehingga kebutuhan pokok warga negara dapat
dipenuhi. Ini adalah fungsi protektif negara. Fungsi ini dapat
dijalankan dengan kebijakan perpajakan. Dalam pemikiran ekonomi
sosial, pajak tidak sekadar pendapatan negara untuk membiayai
kebutuhan negara untuk menjalankan roda pemerintahan, melainkan
dimaksudkan untuk memberi jaminan sosial bagi setiap wagra negara.
Keempat,
sistem ekonomi sosial juga memberi ruang bagi ekonomi pasar, tetapi
dengan tekanan yang berbeda dari apa yang dipikirkan dalam ekonomi
pasar kapitalis. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari dua segi.
Pertama,
jika dalam ekonomi pasar kapitalis, modal dilihat sebagai dasar
utamanya, dalam ekonomi sosial yang dikenal adalah kekuasaan rakyat.
Sistem ekonomi sosial mengandaikan bahwa manusia, bukan uang,
merupakan sumber daya utama dari sistem ekonomi. Kedua,
jika ekonomi pasar kapitalis melihat kompetisi sebagai mesin ekonomi,
ekonomi sosial akan berpendirian bahwa ekonomi harus berakar dalam
organisasi masyarakat.
- KRITIK TERHADAP EKONOMI PASAR
Pemikiran ekonomi
sosial, sebagaimana dirintis Sismondi dan Hobson, ternyata mendapat
tanggapan dari tokoh modern. Di antara tokoh dunia pada pertengahan
abad ke-20, muncul beberapa nama penting. Tokoh yang paling terkemuka
dewasa ini adalah Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pejuang
kemanusiaan dari India. Mahatma Gandhi sendiri mengatakan, bahwa
suatu ekonomi akan dilihat sebagai kegiatan yang bermakna, jika
ekonomi tersebut mengarahkan diri pada tujuan yang benar. Yang ia
maksud dengan tujuan tersebut adalah tersedianya kebutuhan hidup dan
meningkatnya penghargaan terhadap martabat manusia, sikap
antikekerasan, dan hormat pada pekerja kreatif. Pikiran yang sama
dikemukakan dengan cara lain oleh Richard Tawney (1880-1962), seorang
penulis ekonomi yang memiliki hasrat yang mendalam akan persamaan
antara manusia dan pejuang yang tangguh melawan semua bentuk
konsumerisme. Sama seperti Hobson, ia menegaskan bahwa ekonomi harus
tunduk pada tujuan sosial, bukan pada tujuan egoistis.Kita masih bisa
menambahkan lagi, E.F. Schumacher (1911-1977), ke dalam daftar
ekonomi sosial dewasa ini. Dalam semangat yang sama dengan kedua
tokoh tersebut di atas, ia mengatakan bahwa setiap orang harus
menjadi dirinya sendiri dalam kelompok yang lebih kecil. Dan tugas
ekonomi sekarang adalah mendorong orang untuk berpikir menurut
struktur yang menampung keberanekaragaman kelompok yang lebih kecil.
Pemikir
ekonomi tersebut di atas, melihat bahwa ekonomi pada dasarnya
memiliki dimensi moral, dalam arti memungkinkan pemuasan kebutuhan
dasar, hormat terhadap martabat manusia dan keadilan sosial.
Secara lebih
khusus, di Indonesia, kita mengenal Mohammad Hatta sebagai tokoh
ekonomi sosial.
Ia
boleh dikatakan sebagai orang paling produktif dan terbanyak menulis
dan berbicara tentang persoalan ekonomi pada awal kemerdekaan RI. Di
antara tema-tema yang ia kerjakan, terdapat sejumlah karangan
mengenai perbankan, koperasi, dan ekonomi politik. Sebagai salah
seorang perintis kemerdekaan, Hatta, sama seperti Soekarno,
berpendapat tentang perlunya melakukan perubahan sosial sebagai
prasyarat pembangunan ekonomi. Dengan perubahan tersebut, pembangunan
ekonomi akan lebih mengarah kepada keadilan sosial. Dalam konteks
persoalan ini, Hatta memandang perlunya pembinaan kelembagaan ekonomi
yang bisa mewadahi kegiatan ekonomi lapisan bawah.
Koperasi
adalah wadah yang dipandang cocok untuk menciptakan, sekaligus
menjamin keseimbangan antara tuntutan pertumbuhan ekonomi dan
tuntutan keadilan sosial.
Maka,
Hatta sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai sosialis.
Baginya,
sosialisme ekonomi merupakan tuntutan institusional, yang bersumber
dalam lubuk hati yang murni, berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan
sosial.
Dengan
mencoba merumuskan gagasan filosofis tentang harkat dan martabat
manusia dalam kelembagaan ekonomi, Hatta melangkah lebih maju dari
cita-cita ekonomi sosial, dengan merintis jalan yang sangat logis
bagi ekonomi kerakyatan, suatu ekonomi berdasarkan kedaulatan
rakyat.Dalam artikelnya yang berjudul “Krisis Dunia dan Nasib
Rakyat Indonesia”, yang dimuat dalam Daulat
Rakjat (20
dan 30 September 1932), Hatta menegaskan bahwa tugas pemerintah
adalah mengembangkan pendidikan nasional menuju kerakyatan dalam
bidang ekonomi.Ia menulis, “Seharusnya persoalan bagaimana rakyat
bisa hidup, apa yang harus dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat
dan menambah kemakmuran rakyat, segala hal itu harus di putuskan
dengan mufakat bersama rakyat. Rakyat banyak turut bersuara dalam hal
ini.”
Dengan
memperhatikan tanggapan positif terhadap konsep ekonomi sosial gaya
Sismondi dan Hobson tersebut, kita dapat mengatakan bahwa ekonomi
sosial dapat dilihat sebagai sebuah usaha untuk kembali kepada
cita-cita Adam Smith, dan sekaligus sebuah kritik atas praktek
ekonomi pasar dewasa ini. Sismondi dan Hobson sadar bahwa Adam Smith
telah melihat pasar bebas sebagai sebuah konsep moral.
Smith
sendiri menjelaskan bahwa pasar merupakan sebuah kondisi, yang
memungkinkan banyak orang mengungkapkan kebebasan yang dimilikinya,
dalam komunikasi dengan banyak orang untuk mencapai kemakmuran
bersama. Karena itu, ia tidak ragu dalam memberi predikat “bebas”
atas kata “pasar”. Pasar, begitu Smith meyakinkan kita, adalah
perwujudan dari kodrat kebebasan manusia.
Secara
historis, apa yang dikatakan oleh Adam Smith ini dapat diterima.
Albert Hirschman, dalam artikelnya yang berjudul “Rival
Interpretation of Market Society”, mengungkapkan bahwa sebelum
Revolusi Prancis, perdagangan memainkan peranan yang sentral dalam
memajukan suatu masyarakat.Ia tidak hanya memajukan masyarakat dari
segi ekonomi, tetapi juga dari segi moral.Interaksi antara manusia
dimungkinkan oleh perdagangan.Melalui pasar atau pertukaran barang di
ruang pasar, manusia belajar untuk menjadi pribadi yang terbuka,
saling melayani, dan menjadi bijaksana dalam perkataan dan perbuatan.
Pasar merupakan kondisi sosial, dimana isolasi pribadi dan kultural
dibuka seluas-luasnya bagi orang lain dan semua kepentingannya. Pasar
merupakan kondisi sosial yang memungkinkan simpati sebagai perasaan
moral demi kebahagiaan banyak orang, menjadi semakin nyata.
Tetapi,
Hirschman melanjutkan, tesis “Doux
commerce”,
(perdagangan yang baik) tersebut ternyata tidak pernah terjadi lagi
dewasa ini.Sebaliknya, pasar sekarang menjadi buta terhadap nasib
banyak orang dalam masyarakat.Kita tidak pernah menjumpai lagi suatu
kompetisi yang sehat dan manusiawi. Dalam bahasa Max Horkheimer dalam
Eclipse
of Reason,
pasar, sekarang telah membangun dirinya dengan akal budi instrumental
yang menghancurkan basis teoretis gagasan mitologis masyarakat
tradisional, gagasan religius masyarakat yang kuat dipengaruhi agama,
seperti masyarakat abad pertengahan di Eropa, masyarakat Hindu di
India, dan masyarakat Islam di Timur Tengah, dan bahkan gagasan
rasionalistis masyarakat modern yang kuat, didukung oleh ilmu
pengetahuan. Selain itu, pasar juga menghancurkan segi-segi sentiment
moral atau simpati yang dikembangkan masyarakat itu.
Akar
kelemahan dasar ekonomi pasar, sebenarnya berasal dari prinsip
perdagangan, yaitu kompetisi dan laissez-faire.
Prinsip kompetisi berbunyi: pasar yang sehat hanya dapat digerakkan
oleh kompetisi yang konstruktif. Berdasarkan semangat tersebut,
setiap orang atau organisasi bersedia untuk bekerja lebih keras dan
efisien.Namun demikian, kompetisi dapat dilakukan dengan semangat
destruktif.Tindakan mencuri, atau mematikan binatang piaraan petani
lain, atau meminimalkan upah pekerja adalah tindakan destruktif yang
menghancurkan.Tindakan destruktif tersebut dapat diambil karena ingin
mendapatkan keuntungan.Prinsip kompetisi, yang semula dalam pemikiran
Smith dipahami sebagai usaha untuk menegakkan efisiensi kerja,
sekarang berubah menjadi sebuah prinsip destruktif.Prinsip kompetisi
destruktif tersebut menjadi akar bagi pengabaian atas penghargaan
terhadap tenaga kerja dan lingkungan hidup.
Sifat
destruktif kompetisi tersebut, merupakan tanda bahwa masyarakat atau
negara, pada kenyataannya, lemah terhadap mekanisme pasar, sehingga
ia tidak mampu lagi mengatur suatu sistem kompetisi yang sehat. Dalam
semangat destruktif setiap perusahaan yang berkompetisi, menggunakan
cara-cara yang tidak sehat: membangun manajemen produksi yang efektif
sambil menawarkan iklan yang membohongi calon konsumen, menetapkan
standar upah karyawan dan kondisi kerja yang rendah, dan melakukan
lobi yang menyesatkan.Dalam situasi destruktif tersebut, masyarakat
harus memainkan perannya sebagai wasit yang memberi aturan
kompetisi.Masyarakat sebagai organisasi, harus menetapkan aturan
sehingga setiap pihak yang berkompetisi memperhatikan kepentingan
sosial.
Prinsip
kedua ekonomi pasar adalah laissez-faire.
Dengan prinsip ini, kaum fisiokratis telah mencoba mendorong para
petani: agar mereka tidak terjebak dalam nasib tetapi diajak untuk
mengembangkan pertanian sebagai bisnis.Begitu juga halnya dengan
pemikiran Adam Smith.Ia sudah mencoba menjelaskan prinsip ini secara
sistematis. Menurut Smith, dalam rangka mencapai kepentingan diri,
seorang individu dibimbing oleh invisible
hand,
si “tangan ghaib” untuk mencapai tujuan yang lebih besar dari
tujuannya sendiri, yaitu tujuan masyarakat.
Kelemahan
prinsip ini, sebenarnya terletak pada asumsi yang ada di baliknya,
yaitu kepercayaan bahwa si tangan gaib dapat mengubah kepentingan
diri menjadi kepentingan bersama. Tetapi, mengapa harus percaya pada
si tangan gaib? Bagaimana ia dapat dipercaya? Gagasan tangan gaib
merupakan suatu gagasan yang berkaitan dengan teologi matural yang
beranggapan bahwa Allah menciptakan dunia dan meninggalkannya,
sehingga dunia tersebut mengatur dirinya sesuai dengan hukum alam
yang objektif.
Konsep
ekonomi pasar yang berpangkal pada kepentingan diri ini, coba
dipahami secara positif dalam teologi ini. Diandaikan bahwa
berdasarkan gagasan penyelenggaraan ilahi, motif kepentingan diri
akan dengan sendirinya mengarahkan dirinya sehingga memberi
keuntungan sosial yang besar. Smith sendiri menegaskan bahwa prinsip
laissez-faire
harus mendapat pembatasan dari pemerintah.Ia mengatakan kebebasan
alamiah yang dimiliki oleh beberapa individu, yang barangkali akan
merugikan kepentingan seluruh masyarakat, harus dibatasi dengan
aturan pemerintah.
Berkaitan
dengan pendirian Smith tersebut, ekonomi sosial, dewasa ini
menganggap prinsip laissez-faire
sebagai mitos yang tidak dapat diandalkan bagi kesejahteraan
bersama.Jika masalah yang kita hadapi adalah masalah kemiskinan, dan
karena itu kaum miskin harus dilindungi, orang tidak lagi memalingkan
perhatiannya pada prinsip laissez-faire
untuk
memecahkan masalah tersebut, melainkan pada pemerintah.Dengan ini,
para pemikir sosial melangkah lebih jauh dari Smith.Bagi mereka,
pertanyaan penting dalam seluruh diskusi tentang ekonomi pasar bebas
bukan lagi mekanisme si tangan gaib, melainkan mengenai fungsi dan
tugas pemerintah.Pemerintah, menurut ekonomi sosial, bukanlah si
tangan gaib, melainkan tangan yang dapat disentuh, dilihat, dan
karena itu dapat dikritik juga.Untuk memecahkan masalah keadilan
sosial dan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik, para pemikir
ekonomi sosial tidak mengarahkan perhatian pada mekanisme pasar,
melainkan pada pada peran pemerintah.Maka, masyarakat, melalui
pemerintah, bertugas mengontrol pasar, tidak sebaliknya.Mengurangi
peran pemerintah, berarti menumbuhkan ekonomi kepentingan diri.
Kritik
ini dapat dipahami, jika kita melihat bahwa ekonomi tidak pernah
lepas dari batas-batas suatu masyarakat konkret.Seharusnya, ekonomi
atau pasar berada dan berkembang dalam dan untuk masyarakat.Dengan
demikian, kebebasan ekonomi perlu mendapat “yurisdikasi”
pemerintah atau masyarakat setempat. Jika tidak, pasar akan cenderung
mengembangkan kompetisi destruktif.Para pendukung ekonomi sosial
selalu menjelaskan, bahwa dalam situasi globalisasi ekonomi seperti
sekarang ini, kita membutuhkan suatu kontrol sosial yang mengamankan
kesejahteraan suatu masyarakat. Hobson sendiri mengusulkan dengan
cara lain: untuk menghadapi ketidakseimbangan kaya-miskin sebaga
akibat dari internasionalisme ekonomi, suatu kebijaksanaan ekonomi
perlu diciptakan untuk melindungi para buruh, sehingga hidup mereka
menjadi lebih sejahtera.
- RASIONALITAS EKONOMI SOSIAL
Para filsuf yunani
kuno, sudah lama
menjelaskan, bahwa bertindak rasional berarti bertindak berdasarkan
pertimbangan yang masuk akal, baik mengenai sarana maupun mengenai
tujuannya. Rasionalitas yang dimaksud di sini adalah rasioanlitas
evaluatif, suatu rasionalitas yang menjelaskan bahwa suatu tindakan
selalu
berkaitan
dengan nilai atau kepentingan bersama, atau lebih tepat lagi,
kepentingan manusia pada umumnya.
Konsep rasionalitas
filsuf Yunani kuno ini, akan tetapi, telah lama diabaikan. Sejak
David Hume, terutama dalam bukunya Treatis
of Human Nature(1739-1740),
rasionalitas evaluatif ini diganti denganrasionalitas instrumental,
dimana pengetahuan manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai ungkapan
dari keunggulan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan
berakhlak mulia, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan
tertentu. Dalam perspektif rasionalitas instrumental inilah, ekonomi
sekarang berkembang. Mengenai rasionalitas instrumental ini, Herbert
Simon menulis dalam bukunya yang berjudul Reason
in Human Affairs (1983):
dalam ekonomi modern akal budi sungguh instrumental. Ia tidak
mengatakan kepada kita kemana kita pergi. Ia hanya mengatakan kepada
kita apa yang dapat diperoleh disana. Ia adalah senjata yang kita
pakai dalam layanan yang kita berikan untuk mendapatkan tujuan yang
ingin kita miliki, entah baik atau buruk.
Apa yang dikatakan
Simon tersebut, merupakan ringkasan dari seluruh orientasi dasar
ekonomi kapitalis. Apa yang diperjuangkan oleh kaum fisiokratis dan
Adam Smith, dimana produksi,bisnis,dan perdagangan mendapat perhatian
serius, tidak lain dari rasionalitas kalkulasi yang akurat. Gagasan
ini kemudian ditafsir oleh Marx sebagai kalkulasi untuk memperbesar
keuntungan bagi pengusaha. Prinsip maksimalisasi kegunaan,
sebagaimana dikembangkan Mill, ditafsir sebagai prinsip maksimalisasi
keuntungan. Karena itu, kalkulasi untuk memperbesar kegunaan
diidentikan dengan kalkulasi memperbesar keuntungan bagi produsen.
Dengan mengembangkan rasionalitas instrumental ini, homo
economicus mengambil
jarak terhadap homo
sapiens.
Manusia ekonomi tidak lagi menjadi manusia bijaksana, yang
menggunakan akal sehat untuk kebahagiaan banyak orang, tetapi sekadar
untuk mendapat keuntungan sendiri.
Gagasan ekonomi
sosial, bertujuan agar ekonomi tidak hanya menjalankan rasionalitas
instrumental, melainkan juga mengembangkan rasionalitas otentik atau
extended rationality, rasionalitas diperluas, menggunakan istilah
Alan Hamlin (Ethics,
Economics and the State),
yang berorientasi tidak hanya pada keuntungan bagi diri sendiri
(self-interest) tetapi juga kebaikan orang lain. Pada gilirannya,
gagasan ekonomi sosil akan memberi perhatian pada gagasan kepercayaan
kepada orang lain, hak orang lain dan generasi yang akan datang,
serta hormat/taat pada hukum.
Berkaitan dengan
poin terakhir ini, kita dapat berbicara rasionalitas self-interest.
Dalam waktu kurang dari dua abad ini, paraekonompercaya betul bahwa
roda ekonomi ditentukan oleh prinsip the
invisible hand,
bahwa setiap tindakan untuk mengejar kebutuhan pribadi dengan
sendirinya membawa kemakmuran bangsa, sekalipun tindakan tersebut
sama sekali tidak memiliki motif publik. Dengan kata lain, setiap
tindakan mengejar keuntungan, pada saat yang sama,akan memberi
peluang bagi terciptanya kebaikan bersama. Prinsip invisible
hand
ini semakin lama menjadi semakin jelas, jika kita mengamati
bagaimana globalisasi terjadi. Globalisasi adalah suatu kenyataan
yang tidak dapat kita tolak, dimana semua dari kita harus
bersama-sama mengejar mamon (dewa kekayaan) . Dalam ekonomi global
tersebut, kita semua terjerumus dalam logika self-interst.
Yang menjadi masalah
dengan ekonomi berdasarkan self-interest
adalah akibatnya bagi ordo sosial yang kita bangun: kita kembali pada
kehidupan dimana setiap orang tidak saling kenal satu sama lain.
Tindakan kriminal, perceraian, broken
home,
kekerasan , dan lain-lain hampir tidak pernah bebas dari motif untuk
mengabdi mammon tersebut. Self-interest menjadi motif mendasar semua
kehancuran tatanan sosial tersebut.
Terhadap masalah
ini, Marx pun tidak dapat memberi jawaban yang memuaskan, karena ia
salah dalam menafsirkan motif self-interest. Seharusnya Das
kapital
menyajikan dalam arti tertentu, motif individual untuk revolusi
sosial. Karena, inti dari sejarah bukanlah pertentangan kelas,
sebaliknya pertentangan nilai individual. Batu sandungan dari
tindakan manusia adalh kehendak bebas manusia. Alexander Solzhenistyn
mengatakan bahwa garis pemisah
antara baik dan buruk tidak ditentukan oleh ideologi, filsafat, kelas
masyarakat atau bangsa di mana kita dilahirkan, melainkan oleh hati
manusia,
Jika demikian
masalahnya, ekonomi sosial dapat menyajikan suatu resep ekonomi yang
sehat hanya didukung oleh sisi lain dari self-interest,
yaitu moralitas. Bertrand Russell pernah berkata: jika manusia secara
aktual berkembang atas dasar self-interest,
seluruh umat manusia harus bekerja sama. Moralitas manusia memiliki
logika tersendiri. Ia tidak ditentukan oleh self-interest
melainkan oleh apa yang harus dicapai oleh kemanusiaan. Yang
dibutuhkan oleh kemanusiaan tidak lain adalah suatu kepercayaan yang
existensi yang bermakna, kehidupanyang tidak dapat diukur oleh berapa
banyak yang aku miliki tetapi oleh apa yang diciptakannya. Memberi
perhatian pada masalah moralitas dalam ekonomi, berarti memberi
peluang bagi ekonomi sosial untuk menjalankan fungsinya sebagai
dokter bagi kemanusiaan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sismondi
berpendapat bahwa ekonomi tidak dibangun di atas perhitungan yang
“bebas nilai”, melalui pendekatan matematik yang disimpulkan dari
aksioma yang sangat umum, melainkan dibangun di atas study tentang
manusia dan masyarakat. Dengan kata lain, ekonomi selalu berangkat
dari sebuah konteks persoalan yang dihadapi manusia dan masyarakat.
Ekonomi bukanlah ilmu matematis melainkan suatu ilmu moral, suatu
ilmu yang memiliki tujuan menciptakan kesejahteraan manusia. Ilmu itu
tidak cukup berbicara tentang angka, melainkan memfokuskan
perhatiaannya pada perasaan, kebutuhan, dan hasrat manusia. Dengan
fokus pehatian ini, Sismondi memandang ekonomi dari persoalan ekonomi
politik bukan pertumbuhan ekonomi, yaitu bagaimana kekayaan tersebut
dinikmati dan bagaimana penyebaran kekayaan itu terjadi dalam
masyarakat. Bagi Sismondi, ekonomi harus menciptakan kebahagiaan
manusia. Ia harus membangun dirinya menjadi ilmu untuk manusia,
menggantikan ekonomi sebagai ilmu demi kekayaan. Ia berpendapat,
bahwa kita akan keliru jika kita hanya memperhatikan kekayaan secara
abstrak, kemudian bangga dengan angka yang menakjubkan tentang
kekayaan tersebut.
Maka bagi Sismondi,
yang paling penting dalam ekonomi adalah persoalan keadilan ekonomi;
inti persoalannya adalah bagaimana mendorong agar kekayaa negara
dinikmati oleh seluruh rakyat, termasuk oleh mereka yang miskin.
Kriteria minimal untuk ini adalah terpenuhinya semua kebutuhan
material pokok semua orang, terlebih oleh para pemilik perusahaan
yang memperkerjakan banyak orang. Dengan pertimbangan ini, ekonomi,
menurut Sismondi, tidak lain dari suatu manajemen untuk menciptakan
kebahagiaan bagi semua orang. Peran pemerintah dalam hal ini tidak
lebih dari pelindung kaum miskin, suatu cita-cita yang tak pernah
terpikirkan dalam ekonomi Liberal berdasarkan Laissez-faire.
Sismondi dan Hobson
menunjukkan, bahwa ekonomi sosial merupakan suatu sistem ekonomi yang
didasarkan pada prinsip kebaikan bersama, di atasnya, produksi barang
dan layanan dapat ditangani sedemikian rupa sehingga kemakmuran
manusia dapat dimaksimalkan.
Dalam pemikiran
ekonomi sosial, kebaikan bersama diartikan sama dengan kepentingan
bersama anggota masyarakat. Secara lebih operasional, tugas ekonomi
sosial adalah memberi kesempatan kepada setiap anggota masyarakat
untuk merealisasikan kepentingan bersama, sehingga kebutuhan dasarnya
sebagai anggota masyarakat terpenuhi.
Ekonomi
harus tunduk pada tujuan sosial, bukan pada tujuan egoistis.
Ekonomi pada
dasarnya memiliki dimensi moral, dalam arti memungkinkan pemuasan
kebutuhan dasar, hormat terhadap martabat manusia dan keadilan
sosial.
Bertindak
rasional berarti bertindak berdasarkan pertimbangan yang masuk akal,
baik mengenai sarana maupun mengenai tujuannya. Rasionalitas yang
dimaksud di sini adalah rasioanlitas evaluatif, suatu rasionalitas
yang menjelaskan bahwa suatu tindakan selalu
berkaitan
dengan nilai atau kepentingan bersama, atau lebih tepat lagi,
kepentingan manusia pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dua,
Michael. 2008. Filsafat
Ekonomi Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama.
Yogyakarta: Kanisius.
0 komentar:
Post a Comment