Friday, 22 July 2016

Manajemen Operasi

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Kritik Marx terhadap kapitalisme bertujuan untuk mengunkapkan bahwa manusia yang dalam teori Quesnay sampai dengan John Stuart Mill dilihat sebagai subjek ekonomi, sekarang ternyata terseret menjadi objek ekonomi. Kritik tersebut tentu tidak menegaskan bahwa ekonomi harus menyeret manusia ke dalam kemelaratan ekonomi, sebaliknya, justru memiliki motif yang kuat untuk melihat manusia sebagi subjek ekonomi. Secara sederhana, Marx sebenarnya ingin mengusulkan agar para pekerja diapresiasi berdasarkan sumbangannya dalam proses produksi. Karena itu, pada inti dari kritik Marx, kita dapat menemukan suatu gagasan baru mengenai ekonomi, yaitu suatu ekonomi yang memberi perhatian pada masalah kesejahteraan dan keadilan sosial.
Gagasan seperti ini sebenarnya tidak perlu dikaitkan dengan nama Marx itu sendiri. Jauh sebelum Marx, Lord Lauderdale dan J.C.L. Simonde de Sismondi telah mengajukan kritik yang tajam terhadap kapitalisme Liberal. Usul konkret mereka adalah pembatasan terhadap prinsip laissez faire dalam bisnis, sehingga ekonomi dapat memberi ruang bagi kesejahteraan bersama. Kritik yang sama juga disampaikan oleh tokoh nasionalis seperti Adam Mueller. Ia berpendapat bahwa negara adalah sebuah unit ekonomi. Pemerintah boleh intervensi dalam setiap kegiatan ekonomi untuk tujuan negara. Kelompok yang ketiga adalah pendekatan yang disajikan oleh Stuart Simon, yang melihat ekonomi harus benar-benar sosialis (sebagai lawan dari individualisme total). Inilah inti dari apa yang dewasa ini disebut sebagai ekonomi sosial.
J.C.L. Simonde de Sismondi , seorang ekonom kelahiran Jenewa, Swiss memiliki pemikiran pada usaha pembatasan terhadap prinsip laissez faire. Melalui bukunya yang berjudul: New Principles of Political Economy, or of Wealth in Its Relation to Population, Sismondi menjadi terkenal dengan pemikiran bahwa suatu ekonomi yang dibangun di atas basis pembatasan prinsip laissez-faire, dapat memaksimalisasikan kesejahteraan manusia. Ekonomi, sebagaimana ia menjelaskan, harus mampu memberi perhatian pada martabat manusia sebagai manusia.
  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi tentang Ekonomi Sosial?
  2. Bagaimanakah konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi tentang masalah moral ekonomi?
  3. Bagimanakah konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sisimondi mengenai kebaikan bersama sebagai tujuan ekonomi?
  4. Bagaimanakah konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi mengenai kritik terhadap ekonomi pasar?

  1. Tujuan
  1. Mengetahui konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sisimondi mengenai ekonomi social.
  2. Mengetahui konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi tentang masalah moral ekonomi.
  3. Mengetahui konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi mengenai kebaikan bersama sebagai tujuan ekonomi.
  4. Mengetahui konsep pemikiran J.C.L. Simonde de Sismondi mengenai kritik terhadap ekonomi pasar.

BAB II
PEMBAHASAN

  1. J.C.L. SIMONDE DE SISMONDI DAN EKONOMI SOSIAL
  1. Sismondi dan Masalah Moral Ekonomi
Awalnya Sismondi merupakan seorang pengikut Adam Smith. Karyanya yang berjudul De la richesse Commerciale (1803). Boleh dikatakan sebagai sebuah ringkasan yang diperuntukkan bagi pembaca berbahasa Perancis, untuk memahami konsep kemakmuran bangsa sebagaimana dikembangkan Smith. Konsep Smith tentang fixed capital (tanah, gedung industry, sarana transportasi) dan circulating capital (keuntungan yang diperoleh karena perdagangan) dikembangkan baik dalam buku ini.
Namun, dalam buku ini kita tidak hanya menemukan laudatio atas pemikiran Smith. Secara langsung, kita juga melihat bagaimana ia mulai menunjukkan titik perbedaannya dengan Smith, ketika Sismondi berbicara tentang gaji yang tidak adil itu, Sismondi menunjukkan simpatinya pada pekerja pabrik. Ia menulis, tidak ada seorangpun yang memiliki kepekaan, yang tak bersedih melihat suatu kelas masyarakat yang sangat berjasa bagi masyarakat tetapi ternyata tidak memiliki apa-apa. Dengan simpati seperti ini, ia mengkritik privilese pemilik tanah dan pemilik modal atas seluruh surplus-keuntungan.
Kritik yang sama ini menjadi inti dari karyanya selanjutnya, terutama bukunya yang berjudul New Principles of Political Economy, yang terbit tahun 1819 dan kemudian mengalami edisi perbaikan pada tahun 1827. Pada bagian pertama dari buku ini, Sismondi berbicara tentang masalah yang sudah lama dibicarakan oleh para ekonom pada zamannya, yaitu masalah over produksi dan masalah rendahnya kemampuan konsumsi. Dalam hal over produksi, Sismondi mengkritik pandangan yang sudah lama dikembangkan oleh Ricardo dan J.S. Mill bahwa pasti akan ada keseimbangan antara produksi (penawaran) dan permintaan. Menurut Sismondi, semua kegiatan produksi tidak selalu proporsional dengan permintaan konsumen. Jika konsumen tidak memiliki kemampuan untuk membeli lagi maka terjadilah apa yang disebut dengan overproduksi.
Pada bagian kedua dari buku ini, Sismondi menggagas dimensi social-politik ekonomi. Dalam dimensi ini, Sismondi berpendapat bahwa ekonomi tidak dibangun di atas perhitungan yang “bebas nilai”, melalui pendekatan matematik yang disimpulkan dari aksioma yang sangat umum, melainkan dibangun di atas study tentang manusia dan masyarakat. Dengan kata lain, ekonomi selalu berangkat dari sebuah konteks persoalan yang dihadapi manusia dan masyarakat. Ekonomi bukanlah ilmu matematis melainkan suatu ilmu moral, suatu ilmu yang memiliki tujuan menciptakan kesejahteraan manusia. Ilmu itu tidak cukup berbicara tentang angka, melainkan memfokuskan perhatiaannya pada perasaan, kebutuhan, dan hasrat manusia. Dengan fokus pehatian ini, Sismondi memandang ekonomi dari persoalan ekonomi politik bukan pertumbuhan ekonomi, yaitu bagaimana kekayaan tersebut dinikmati dan bagaimana penyebaran kekayaan itu terjadi dalam masyarakat. Bagi Sismondi, ekonomi harus menciptakan kebahagiaan manusia. Ia harus membangun dirinya menjadi ilmu untuk manusia, menggantikan ekonomi sebagai ilmu demi kekayaan. Ia berpendapat, bahwa kita akan keliru jika kita hanya memperhatikan kekayaan secara abstrak, kemudian bangga dengan angka yang menakjubkan tentang kekayaan tersebut.
Maka bagi Sismondi, yang paling penting dalam ekonomi adalah persoalan keadilan ekonomi; inti persoalannya adalah bagaimana mendorong agar kekayaa negara dinikmati oleh seluruh rakyat, termasuk oleh mereka yang miskin. Kriteria minimal untuk ini adalah terpenuhinya semua kebutuhan material pokok semua orang, terlebih oleh para pemilik perusahaan yang memperkerjakan banyak orang. Dengan pertimbangan ini, ekonomi, menurut Sismondi, tidak lain dari suatu manajemen untuk menciptakan kebahagiaan bagi semua orang. Peran pemerintah dalam hal ini tidak lebih dari pelindung kaum miskin, suatu cita-cita yang tak pernah terpikirkan dalam ekonomi Liberal berdasarkan Laissez-faire.
Dalam rangka mempertahankan gagasan ini, Sismondi mencoba mengkritik pandangan ekonomi sebelumnya, yang memfokuskan perhatiannya pada kepentingan konsumen memproduksi barang sebanyak mungkin sehingga konsumen dapat membelinya semurah mungkin. Menurut Sismondi, argumentasi ini bersifat ironis, karena pada akhirnya kepentingan pengusaha yang diutamakan. Membuat barang menjadi lebih murah, dalam kenyataan, selalu berarti bahwa pekerja yang memproduksi barang akan menjadi korban. Inilah dasar yang membuat Sismondi menaruh perhatian pada kepentingan mereka yang terlibat dalam proses produksi. Sismondi berpendapat bahwa inti ekonomi sosial adalah kepastian bahwa setiap orang yang bekerja dalam proses prosuksi mendapatkan haknya atas kebutuhan pokok.
  1. Institusi Ekonomi Sosial
Ekonomi sosial merupakan sebuah konsep alternatif yang mengusahakan kesejahteraan bersama. Sismondi melihat pentingnya keterlibatan banyak pihak. Ekonomi adalah kegiatan yang melibatkan berbagai macam institusi. Kesejahteraan bersama adalah urusan bersama.
Kesejahteraan bersama mengandaikan beberapa institusi sosial ekonomi berikut ini. Yang pertama adalah hak milik atas tanah. Bagi Sismondi, hak milik bukan sesuatu yang buruk dalam pemikiran ekonomi sosial. Sebaliknya, hak milik merupakan syarat yang penting bagi kesejahteraan bersama. Hak tersebut memberi jaminan agar tiap orang dalam masyarakat tidak mati kelaparan karena kekurangan makanan atau kedinginan karena tidak memiliki rumah dan pakaian yang cukup. Namun, hak milik memiliki batasnya, karena pamakaiannya memiliki dimensi sosial. Dalam situasi jurang antara kaya dan miskin sangat lebar, maka hak milik tidak mutlak. Ia harus dibatasi dengan pajak, sehingga yang miskin masih mendapatkan garansi sosial untuk hidup sebagai manusia yang layak dalam masyarakat. Institusi hak milik, menurut pandangan Sismondi, tidak bertujuan memaksimalisasi keuntungan saja. Lebih dari itu, penggunaan hak milik bertujuan untuk kebaikan banyak orang.
Yang kedua adalah institusi industri. Sismondi mengusulkan agar institusi industri dapat memperhatikan kepentingan yang lebih luas bagi masyarakat. Industri bukan sekedar industri ekonomi untuk melayani kepentingan individual, melainkan kepentingan bersama, menyangkut seluruh seginya, seperti kondisi sosial para pekerja dan lingkungan alam serta lingkungan sosial, dimana industri beroperasi.
Institusi yang terakhir adalah pemerintah. Sismondi secara tegas menolak prinsip Laissez-faire dan mendukung peranan pemerintah. Tugas pemerintah adalah mengembangkan prasarana umum yang memudahkan komunikasi dan mobilisasi fisik melalui penggunaan pajak. Tugas utama institusi ini adalah menjadi pelindung bagi orang miskin dan lemah dalam masyarakat.
  1. Ekonomi Untuk Manusia
Tujuan utama ekonomi sosial sebagaimana dirintis Sismondi adalah agar ekonomi menaruh perhatian yang serius pada persoalan manusia sebagai keseluruhan. Gagasan humanisme ekonomi Sismondi ini secara lebih eksplisit dikembangkan oleh John A. Hobson (1859-1942). Ekonomi, demikian menurut Hobson, harus berubah menjadi suatu ilmu yang benar-benar berbicara tentang kesejahteraan manusia. Ada dua argument yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, kepuasan dan bisnis harus diukur dengan standar yang lebih manusiawi. Dalam ekonomi pasar, uang sering dipakai sebagai indikator kesejahteraan sosial. Tetapi, persoalannya adalah uang tidak mampu menjelaskan kuaulitas hidup.
Kedua, jika standar kapuasan diukur menurut standar yang lebih manusiawi, standar tersebut harus bisa menjelaskan kebaikan riil hidup manusia sebagai keseluruhan. Dengan asumsi dasar ini, Hobson mengatakan bahwa ekonomi sebagai ilmu, tunduk pada nilai atau etika. Ia menjelaskan bahwa, jika kita melakukan penelitian, kita akan digerakkan oleh suatu motif yang lebih luas dari data yang kita selidiki. Begitu juga dengan ekonomi. Ekonomi sebagai ilmu tidak pernah bebas nilai. Jika kita ingin membangun suatu ekonomi yang sesuai dengan fakta kemanusiaan kita serta berbagai kemungkinannya, kita mau tidak mau perlu berpikir tentang nilai yang melampaui fakta yang ada. Ilmu ekonomi adalah ilmu sosial, di mana setiap pengetahuan tentang fakta berarti suatu pengetahuan tentang dimensi etis dari fakta itu.
Hobson melihat bahwa penilaian moral dan etis, merupakan penilaian yang dapat diterima akal sehat. Kebenaran moral, jelas Hobson, bukanlah kebenaran yang hanya dihayati secara emosional. Kebenaran tersebut memiliki basisnya pada penalaran rasional yang sehat. Kejujuran, misalnya, berkaitan dengan penghargaan kita kepada kebenaran, pendasaran tersebut bersifat rasional.
  1. KEBAIKAN BERSAMA
  1. Kebaikan Bersama Sebagai Tujuan Ekonomi
Sismondi dan Hobson menunjukkan, bahwa ekonomi sosial merupakan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada prinsip kebaikan bersama, di atasnya, produksi barang dan layanan dapat ditangani sedemikian rupa sehingga kemakmuran manusia dapat dimaksimalkan.
Dalam pemikiran ekonomi sosial, kebaikan bersama diartikan sama dengan kepentingan bersama anggota masyarakat. Secara lebih operasional, tugas ekonomi sosial adalah memberi kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk merealisasikan kepentingan bersama, sehingga kebutuhan dasarnya sebagai anggota masyarakat terpenuhi.
Gagasan ini sebenarnya sudah lama berkembang dalam tradisi pemikiran Republikanis, sebagaimana dikembangkanoleh filsuf Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles, dan filsuf abad pertengahan, seperti Thomas Aquinas. Inti dari gagasan Republikanis terletak pada gagasan kewarganegaraan, suatu gagasan tentang pengikutsertaan seluruh warga dalam untung dan malang, dalam kegembiraan dan kemalangan, atau lebih tepat lagi, dalam nasib yang sama. Prinsip kewarganegaraan ini dirumuskan dengan baik sekali oleh J.J Rousseau dengan istilah persamaan. Dalam hal ekonomi, pemerintah, menurut Rousseau, berkewajiban untuk menciptakan persamaan itu. Tugas terpenting pemerintah, jelasnya, adalah menghindari ketidaksaan ekstrem yang diberikan oleh nasib. Tugas tersebut tidak dilaksanakan dengan sekedar mendirikan sekolah dan rumah sakit bagi kaum miskin, melainkan menjamin dan melindungi agar setiap warga negara tidak menjadi miskin. Tradisi Republikanis menjelaskan, bahwa kebaikan bersama bukanlah jumlah dari kesejahteraan individu. Mereka menjelaskannya sebagai sejumlah syarat yang memungkinkan agar setiap orang dapat mengusahakan kesejahteraan menurut kemampuannya.
Berkaitan dengan poin terakhir ini, ekonomi sosial, yang memberi perhatian pada kebaikan bersama itu, mengusulkan agar seluruh kebijakan ekonomi tidak indeferen terhadap berbagai pertimbangan etis mengenai kedudukan moral setiap warga negara. Setiap orang dalam masyarakat adalah sama-sama warga masyarakat, bukan sekedar konsumen (dalam hal ini sebagai sarana/alat) yang dapat dimanipulasikan. Dengan demikian, ekonomi sosial berurusan dengan masalah moral, masalah keadilan, dan masalah distribusi kemakmuran dan pendapatan. Leon Walras, seorang ahli ekonomi yang mencoba membangun ekonomi matematis, menyetujui gagasan ini. Jika di sana ada ilmu yang melihat keadilan sebagai prinsipnya, demikian Walras, ilmu tersebut adalah ilmu mengenai distribusi kekayaan sosial. Kita boleh menyebutnya sebagai ekonomi sosial.
Dengan alasan ini, ekonomi sosial boleh dikatakan sebagai suatu ilmu normatif, suatu ilmu yang tidak hanya berhenti paa deskripsi tentang fakta ekonomi, tetapi lebih dari itu, mencoba mencari norma bagi kebijakan dan institusi ekonomi yang baik, yang dapat menjamin kebaikan bersama.

  1. Unsur Kebaikan Bersama
  1. Kebutuhn Dasar Manusia
Unsur pertama ekonomi sosial adalah perhatiannya pada kebutuhan dasar manusia. Secara umum, ilmu ekonomi menjelaskan kebutuhan dasar manusia sebagai kebutuhan yang dianggap sungguh niscaya sehingga seorang manusia dapat hidup sebagai manusia. Lalu, apa yang dimaksud dengan kebutuhan “niscaya” tersebut.
Para ahli ekonomi sosial mengacu pada apa yang dikatakan oleh Aristoteles dalam Etika Nikomachea bahwa kebutuhan dasar mengangkut semua dimensi yang dimiliki manusia. Ini berarti manusia kebutuhan manusia untuk menjadi manusia (aktualisasi diri sebagai manusia) memiliki tingkat yang sepadan dengan kebutuhan manusia, mulai dari taraf kebutuhan material, kesehatan, kebutuhan sosial (diterima oleh masyarakat), hingga kebutuhan untuk menjadi diri sendiri.
Pemikiran Aristoteles tersebut memiliki implikasi penting bagi kebijakan ekonomi. Artinya, ekonomi harus memberi ruang agar setiap warga mengusahakan kebutuhan dasarnya, dan berhasil mendapatkannya. Setiap orang berhak untuk secara leluasa mengambil inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya, seperti mendapatkan hidup yang sehat, dengan makanan, pakaian, rumah, dan fasilitas kesehatan yang memadahi.
Semuanya itu merupakan sarana yang memadahi agar seseorang menjadi dirinya sendiri. Jika otonomi dimengerti sebagai kemampuan untuk mengatur diri sendiri berdasarkan kebebasan yang dimilikinya, maka dalam bahasa ekonomi sosial, otonomi tersebut berarti seseorang tidak memiliki ketergantungan pada tingkat kebutuhan subsisten. Sebaliknya, pemenuhan atas kebutuhan tersebut menjadi persyaratan bagi seseorang untuk menjadi dirinya sendiri dan menjadi warga negara yang mandiri.Tanpa itu seseorang tidak pernah menjadi nomos atau norma bagi dirinya sendiri.
  1. Martabat Manusia
Gagasan mengenai martabat manusia merupakan sebuah konsep klasik dalam filsafat ekonomi. Immanuel Kant telah merumuskan konsep ini dalam rumusan yang amat sederhana: setiap manusia harus diperlakukan sebagai manusia. Ia adalah tujuan pada dirinya sendiri, dan karena itu, tidak boleh diperlakukan sebagai sarana semata-mata untuk kepentingan lain diluar dirinya sendiri. Dengan demikian, martabat manusia merupakan gagasan filosofis yang menjelaskan bahwa berdasarkan kelahirannya, setiap manusia adalah sama martabatnya di hadapan orang lain. Martabat sebagai manusia tidak semata-mata ditentukan oleh kebudayaan, melainkan oleh kodratnya sebagai manusia. Dengan demikian, martabat manusia merupakan suatu norma yang universal. Setiap anggota suatu masyarakat memiliki klaim yang sama atas martabatnya sebagai manusia, dan karena itu, menuntut agar ia diperlakukan sesuai dengan martabatnya tersebut. Setiap orang memiliki hak untuk dihargai dan diperlakukan sebagai pribadi.
  1. Mengembangkan Kebaikan Bersama
Kebaikan bersama adalah kebaikan yang harus dibagi secara bersama dalam sebuah masyarakat, sehingga setiap orang mendapatkan hak atas kebebasan, kesempatan untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, dan penghargaan atas martabatnya sebagai manusia. Untuk menjamin kebaikan tersebut, para pemikir ekonomi sosial memberi beberapa catatan berikut ini.
Pertama, kebaikan bersama adalah sebuah gagasan normative untuk menjelaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar, dan mengaktulisasikan dirinya dalam kebersamaan dengan orang lain, dalam sebuah masyarakat. Ini berarti hak dasar tersebut tidak perlu ditafsir secara individulistis, tetapi dilihat dalam rangka kebersamaan, dalam hubungan timbal balik dengan hak orang lain. Hak yang diperjuangkan dalam ekonomi sosial bertujuan agar setiap orang dibantu untuk hidup sebagai manusia dalam masyarakat. Sebagai balasannya, terhadap bantuan sosial tersebut seseorang juga harus menghormati hak orang lain. Jadi, konsep hak berkaitan dengan konsep kewajiban. Ekonomi sosial berasumsi bahwa kita hidup dalam suatu komunitas hak.
Kedua, berkaitan dengan gagasan hak tersebut di atas, secara lebih khusus ekonomi sosial memberi perhatian yang khusus pada hak ekonomi. Hak ekonomi yang dimaksud, meliputi hak pemenuhan atas kebutuhan hidup; hak demokrasi ekonomi, yaitu setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk berusaha; dan hak generasi yang akan datang untuk mendapatkan jaminan akan kecukupan hidup dan martabatnya sebagai manusia. Hak pemenuhan kebutuhan hidup didasarkan pada fakta bahwa manusia adalah makhluk biologis yang yang memiliki kebutuhan dasar biologis, seperti kecukupan makanan, perlindungan, pakaian, dan perawatan medis, serta pendidikan. Sedangkan hak demokrasi ekonomi, bertolak dari gagasan bahwa setiap orang memiliki martabatnya sebagai manusia (karena itu tidak dibenarkan perhambaan dalam dunia kerja), dan hak generasi yang akan datang didasarkan pada pemikiran bahwa ekonomi kita harus memiliki prospek jangka panjang, tidak semata-mata menjawab kebutuhan sekarang ini.
Ketiga, dalam sistem ekonomi sosial, negara memiliki fungsi melindungi segenap warga negara sehingga kebutuhan pokok warga negara dapat dipenuhi. Ini adalah fungsi protektif negara. Fungsi ini dapat dijalankan dengan kebijakan perpajakan. Dalam pemikiran ekonomi sosial, pajak tidak sekadar pendapatan negara untuk membiayai kebutuhan negara untuk menjalankan roda pemerintahan, melainkan dimaksudkan untuk memberi jaminan sosial bagi setiap wagra negara.
Keempat, sistem ekonomi sosial juga memberi ruang bagi ekonomi pasar, tetapi dengan tekanan yang berbeda dari apa yang dipikirkan dalam ekonomi pasar kapitalis. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari dua segi. Pertama, jika dalam ekonomi pasar kapitalis, modal dilihat sebagai dasar utamanya, dalam ekonomi sosial yang dikenal adalah kekuasaan rakyat. Sistem ekonomi sosial mengandaikan bahwa manusia, bukan uang, merupakan sumber daya utama dari sistem ekonomi. Kedua, jika ekonomi pasar kapitalis melihat kompetisi sebagai mesin ekonomi, ekonomi sosial akan berpendirian bahwa ekonomi harus berakar dalam organisasi masyarakat.
  1. KRITIK TERHADAP EKONOMI PASAR
Pemikiran ekonomi sosial, sebagaimana dirintis Sismondi dan Hobson, ternyata mendapat tanggapan dari tokoh modern. Di antara tokoh dunia pada pertengahan abad ke-20, muncul beberapa nama penting. Tokoh yang paling terkemuka dewasa ini adalah Mahatma Gandhi (1869-1948), seorang pejuang kemanusiaan dari India. Mahatma Gandhi sendiri mengatakan, bahwa suatu ekonomi akan dilihat sebagai kegiatan yang bermakna, jika ekonomi tersebut mengarahkan diri pada tujuan yang benar. Yang ia maksud dengan tujuan tersebut adalah tersedianya kebutuhan hidup dan meningkatnya penghargaan terhadap martabat manusia, sikap antikekerasan, dan hormat pada pekerja kreatif. Pikiran yang sama dikemukakan dengan cara lain oleh Richard Tawney (1880-1962), seorang penulis ekonomi yang memiliki hasrat yang mendalam akan persamaan antara manusia dan pejuang yang tangguh melawan semua bentuk konsumerisme. Sama seperti Hobson, ia menegaskan bahwa ekonomi harus tunduk pada tujuan sosial, bukan pada tujuan egoistis.Kita masih bisa menambahkan lagi, E.F. Schumacher (1911-1977), ke dalam daftar ekonomi sosial dewasa ini. Dalam semangat yang sama dengan kedua tokoh tersebut di atas, ia mengatakan bahwa setiap orang harus menjadi dirinya sendiri dalam kelompok yang lebih kecil. Dan tugas ekonomi sekarang adalah mendorong orang untuk berpikir menurut struktur yang menampung keberanekaragaman kelompok yang lebih kecil. Pemikir ekonomi tersebut di atas, melihat bahwa ekonomi pada dasarnya memiliki dimensi moral, dalam arti memungkinkan pemuasan kebutuhan dasar, hormat terhadap martabat manusia dan keadilan sosial.
Secara lebih khusus, di Indonesia, kita mengenal Mohammad Hatta sebagai tokoh ekonomi sosial. Ia boleh dikatakan sebagai orang paling produktif dan terbanyak menulis dan berbicara tentang persoalan ekonomi pada awal kemerdekaan RI. Di antara tema-tema yang ia kerjakan, terdapat sejumlah karangan mengenai perbankan, koperasi, dan ekonomi politik. Sebagai salah seorang perintis kemerdekaan, Hatta, sama seperti Soekarno, berpendapat tentang perlunya melakukan perubahan sosial sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Dengan perubahan tersebut, pembangunan ekonomi akan lebih mengarah kepada keadilan sosial. Dalam konteks persoalan ini, Hatta memandang perlunya pembinaan kelembagaan ekonomi yang bisa mewadahi kegiatan ekonomi lapisan bawah. Koperasi adalah wadah yang dipandang cocok untuk menciptakan, sekaligus menjamin keseimbangan antara tuntutan pertumbuhan ekonomi dan tuntutan keadilan sosial. Maka, Hatta sendiri mengidentifikasikan dirinya sebagai sosialis. Baginya, sosialisme ekonomi merupakan tuntutan institusional, yang bersumber dalam lubuk hati yang murni, berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan sosial.
Dengan mencoba merumuskan gagasan filosofis tentang harkat dan martabat manusia dalam kelembagaan ekonomi, Hatta melangkah lebih maju dari cita-cita ekonomi sosial, dengan merintis jalan yang sangat logis bagi ekonomi kerakyatan, suatu ekonomi berdasarkan kedaulatan rakyat.Dalam artikelnya yang berjudul “Krisis Dunia dan Nasib Rakyat Indonesia”, yang dimuat dalam Daulat Rakjat (20 dan 30 September 1932), Hatta menegaskan bahwa tugas pemerintah adalah mengembangkan pendidikan nasional menuju kerakyatan dalam bidang ekonomi.Ia menulis, “Seharusnya persoalan bagaimana rakyat bisa hidup, apa yang harus dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan menambah kemakmuran rakyat, segala hal itu harus di putuskan dengan mufakat bersama rakyat. Rakyat banyak turut bersuara dalam hal ini.”
Dengan memperhatikan tanggapan positif terhadap konsep ekonomi sosial gaya Sismondi dan Hobson tersebut, kita dapat mengatakan bahwa ekonomi sosial dapat dilihat sebagai sebuah usaha untuk kembali kepada cita-cita Adam Smith, dan sekaligus sebuah kritik atas praktek ekonomi pasar dewasa ini. Sismondi dan Hobson sadar bahwa Adam Smith telah melihat pasar bebas sebagai sebuah konsep moral. Smith sendiri menjelaskan bahwa pasar merupakan sebuah kondisi, yang memungkinkan banyak orang mengungkapkan kebebasan yang dimilikinya, dalam komunikasi dengan banyak orang untuk mencapai kemakmuran bersama. Karena itu, ia tidak ragu dalam memberi predikat “bebas” atas kata “pasar”. Pasar, begitu Smith meyakinkan kita, adalah perwujudan dari kodrat kebebasan manusia.
Secara historis, apa yang dikatakan oleh Adam Smith ini dapat diterima. Albert Hirschman, dalam artikelnya yang berjudul “Rival Interpretation of Market Society”, mengungkapkan bahwa sebelum Revolusi Prancis, perdagangan memainkan peranan yang sentral dalam memajukan suatu masyarakat.Ia tidak hanya memajukan masyarakat dari segi ekonomi, tetapi juga dari segi moral.Interaksi antara manusia dimungkinkan oleh perdagangan.Melalui pasar atau pertukaran barang di ruang pasar, manusia belajar untuk menjadi pribadi yang terbuka, saling melayani, dan menjadi bijaksana dalam perkataan dan perbuatan. Pasar merupakan kondisi sosial, dimana isolasi pribadi dan kultural dibuka seluas-luasnya bagi orang lain dan semua kepentingannya. Pasar merupakan kondisi sosial yang memungkinkan simpati sebagai perasaan moral demi kebahagiaan banyak orang, menjadi semakin nyata.
Tetapi, Hirschman melanjutkan, tesis “Doux commerce”, (perdagangan yang baik) tersebut ternyata tidak pernah terjadi lagi dewasa ini.Sebaliknya, pasar sekarang menjadi buta terhadap nasib banyak orang dalam masyarakat.Kita tidak pernah menjumpai lagi suatu kompetisi yang sehat dan manusiawi. Dalam bahasa Max Horkheimer dalam Eclipse of Reason, pasar, sekarang telah membangun dirinya dengan akal budi instrumental yang menghancurkan basis teoretis gagasan mitologis masyarakat tradisional, gagasan religius masyarakat yang kuat dipengaruhi agama, seperti masyarakat abad pertengahan di Eropa, masyarakat Hindu di India, dan masyarakat Islam di Timur Tengah, dan bahkan gagasan rasionalistis masyarakat modern yang kuat, didukung oleh ilmu pengetahuan. Selain itu, pasar juga menghancurkan segi-segi sentiment moral atau simpati yang dikembangkan masyarakat itu.
Akar kelemahan dasar ekonomi pasar, sebenarnya berasal dari prinsip perdagangan, yaitu kompetisi dan laissez-faire. Prinsip kompetisi berbunyi: pasar yang sehat hanya dapat digerakkan oleh kompetisi yang konstruktif. Berdasarkan semangat tersebut, setiap orang atau organisasi bersedia untuk bekerja lebih keras dan efisien.Namun demikian, kompetisi dapat dilakukan dengan semangat destruktif.Tindakan mencuri, atau mematikan binatang piaraan petani lain, atau meminimalkan upah pekerja adalah tindakan destruktif yang menghancurkan.Tindakan destruktif tersebut dapat diambil karena ingin mendapatkan keuntungan.Prinsip kompetisi, yang semula dalam pemikiran Smith dipahami sebagai usaha untuk menegakkan efisiensi kerja, sekarang berubah menjadi sebuah prinsip destruktif.Prinsip kompetisi destruktif tersebut menjadi akar bagi pengabaian atas penghargaan terhadap tenaga kerja dan lingkungan hidup.
Sifat destruktif kompetisi tersebut, merupakan tanda bahwa masyarakat atau negara, pada kenyataannya, lemah terhadap mekanisme pasar, sehingga ia tidak mampu lagi mengatur suatu sistem kompetisi yang sehat. Dalam semangat destruktif setiap perusahaan yang berkompetisi, menggunakan cara-cara yang tidak sehat: membangun manajemen produksi yang efektif sambil menawarkan iklan yang membohongi calon konsumen, menetapkan standar upah karyawan dan kondisi kerja yang rendah, dan melakukan lobi yang menyesatkan.Dalam situasi destruktif tersebut, masyarakat harus memainkan perannya sebagai wasit yang memberi aturan kompetisi.Masyarakat sebagai organisasi, harus menetapkan aturan sehingga setiap pihak yang berkompetisi memperhatikan kepentingan sosial.
Prinsip kedua ekonomi pasar adalah laissez-faire. Dengan prinsip ini, kaum fisiokratis telah mencoba mendorong para petani: agar mereka tidak terjebak dalam nasib tetapi diajak untuk mengembangkan pertanian sebagai bisnis.Begitu juga halnya dengan pemikiran Adam Smith.Ia sudah mencoba menjelaskan prinsip ini secara sistematis. Menurut Smith, dalam rangka mencapai kepentingan diri, seorang individu dibimbing oleh invisible hand, si “tangan ghaib” untuk mencapai tujuan yang lebih besar dari tujuannya sendiri, yaitu tujuan masyarakat.
Kelemahan prinsip ini, sebenarnya terletak pada asumsi yang ada di baliknya, yaitu kepercayaan bahwa si tangan gaib dapat mengubah kepentingan diri menjadi kepentingan bersama. Tetapi, mengapa harus percaya pada si tangan gaib? Bagaimana ia dapat dipercaya? Gagasan tangan gaib merupakan suatu gagasan yang berkaitan dengan teologi matural yang beranggapan bahwa Allah menciptakan dunia dan meninggalkannya, sehingga dunia tersebut mengatur dirinya sesuai dengan hukum alam yang objektif.
Konsep ekonomi pasar yang berpangkal pada kepentingan diri ini, coba dipahami secara positif dalam teologi ini. Diandaikan bahwa berdasarkan gagasan penyelenggaraan ilahi, motif kepentingan diri akan dengan sendirinya mengarahkan dirinya sehingga memberi keuntungan sosial yang besar. Smith sendiri menegaskan bahwa prinsip laissez-faire harus mendapat pembatasan dari pemerintah.Ia mengatakan kebebasan alamiah yang dimiliki oleh beberapa individu, yang barangkali akan merugikan kepentingan seluruh masyarakat, harus dibatasi dengan aturan pemerintah.
Berkaitan dengan pendirian Smith tersebut, ekonomi sosial, dewasa ini menganggap prinsip laissez-faire sebagai mitos yang tidak dapat diandalkan bagi kesejahteraan bersama.Jika masalah yang kita hadapi adalah masalah kemiskinan, dan karena itu kaum miskin harus dilindungi, orang tidak lagi memalingkan perhatiannya pada prinsip laissez-faire untuk memecahkan masalah tersebut, melainkan pada pemerintah.Dengan ini, para pemikir sosial melangkah lebih jauh dari Smith.Bagi mereka, pertanyaan penting dalam seluruh diskusi tentang ekonomi pasar bebas bukan lagi mekanisme si tangan gaib, melainkan mengenai fungsi dan tugas pemerintah.Pemerintah, menurut ekonomi sosial, bukanlah si tangan gaib, melainkan tangan yang dapat disentuh, dilihat, dan karena itu dapat dikritik juga.Untuk memecahkan masalah keadilan sosial dan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik, para pemikir ekonomi sosial tidak mengarahkan perhatian pada mekanisme pasar, melainkan pada pada peran pemerintah.Maka, masyarakat, melalui pemerintah, bertugas mengontrol pasar, tidak sebaliknya.Mengurangi peran pemerintah, berarti menumbuhkan ekonomi kepentingan diri.
Kritik ini dapat dipahami, jika kita melihat bahwa ekonomi tidak pernah lepas dari batas-batas suatu masyarakat konkret.Seharusnya, ekonomi atau pasar berada dan berkembang dalam dan untuk masyarakat.Dengan demikian, kebebasan ekonomi perlu mendapat “yurisdikasi” pemerintah atau masyarakat setempat. Jika tidak, pasar akan cenderung mengembangkan kompetisi destruktif.Para pendukung ekonomi sosial selalu menjelaskan, bahwa dalam situasi globalisasi ekonomi seperti sekarang ini, kita membutuhkan suatu kontrol sosial yang mengamankan kesejahteraan suatu masyarakat. Hobson sendiri mengusulkan dengan cara lain: untuk menghadapi ketidakseimbangan kaya-miskin sebaga akibat dari internasionalisme ekonomi, suatu kebijaksanaan ekonomi perlu diciptakan untuk melindungi para buruh, sehingga hidup mereka menjadi lebih sejahtera.
  1. RASIONALITAS EKONOMI SOSIAL
Para filsuf yunani kuno, sudah lama menjelaskan, bahwa bertindak rasional berarti bertindak berdasarkan pertimbangan yang masuk akal, baik mengenai sarana maupun mengenai tujuannya. Rasionalitas yang dimaksud di sini adalah rasioanlitas evaluatif, suatu rasionalitas yang menjelaskan bahwa suatu tindakan selalu berkaitan dengan nilai atau kepentingan bersama, atau lebih tepat lagi, kepentingan manusia pada umumnya.
Konsep rasionalitas filsuf Yunani kuno ini, akan tetapi, telah lama diabaikan. Sejak David Hume, terutama dalam bukunya Treatis of Human Nature(1739-1740), rasionalitas evaluatif ini diganti denganrasionalitas instrumental, dimana pengetahuan manusia tidak lagi dapat dilihat sebagai ungkapan dari keunggulan manusia sebagai makhluk yang berakal budi dan berakhlak mulia, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam perspektif rasionalitas instrumental inilah, ekonomi sekarang berkembang. Mengenai rasionalitas instrumental ini, Herbert Simon menulis dalam bukunya yang berjudul Reason in Human Affairs (1983): dalam ekonomi modern akal budi sungguh instrumental. Ia tidak mengatakan kepada kita kemana kita pergi. Ia hanya mengatakan kepada kita apa yang dapat diperoleh disana. Ia adalah senjata yang kita pakai dalam layanan yang kita berikan untuk mendapatkan tujuan yang ingin kita miliki, entah baik atau buruk.
Apa yang dikatakan Simon tersebut, merupakan ringkasan dari seluruh orientasi dasar ekonomi kapitalis. Apa yang diperjuangkan oleh kaum fisiokratis dan Adam Smith, dimana produksi,bisnis,dan perdagangan mendapat perhatian serius, tidak lain dari rasionalitas kalkulasi yang akurat. Gagasan ini kemudian ditafsir oleh Marx sebagai kalkulasi untuk memperbesar keuntungan bagi pengusaha. Prinsip maksimalisasi kegunaan, sebagaimana dikembangkan Mill, ditafsir sebagai prinsip maksimalisasi keuntungan. Karena itu, kalkulasi untuk memperbesar kegunaan diidentikan dengan kalkulasi memperbesar keuntungan bagi produsen. Dengan mengembangkan rasionalitas instrumental ini, homo economicus mengambil jarak terhadap homo sapiens. Manusia ekonomi tidak lagi menjadi manusia bijaksana, yang menggunakan akal sehat untuk kebahagiaan banyak orang, tetapi sekadar untuk mendapat keuntungan sendiri.
Gagasan ekonomi sosial, bertujuan agar ekonomi tidak hanya menjalankan rasionalitas instrumental, melainkan juga mengembangkan rasionalitas otentik atau extended rationality, rasionalitas diperluas, menggunakan istilah Alan Hamlin (Ethics, Economics and the State), yang berorientasi tidak hanya pada keuntungan bagi diri sendiri (self-interest) tetapi juga kebaikan orang lain. Pada gilirannya, gagasan ekonomi sosil akan memberi perhatian pada gagasan kepercayaan kepada orang lain, hak orang lain dan generasi yang akan datang, serta hormat/taat pada hukum.
Berkaitan dengan poin terakhir ini, kita dapat berbicara rasionalitas self-interest. Dalam waktu kurang dari dua abad ini, paraekonompercaya betul bahwa roda ekonomi ditentukan oleh prinsip the invisible hand, bahwa setiap tindakan untuk mengejar kebutuhan pribadi dengan sendirinya membawa kemakmuran bangsa, sekalipun tindakan tersebut sama sekali tidak memiliki motif publik. Dengan kata lain, setiap tindakan mengejar keuntungan, pada saat yang sama,akan memberi peluang bagi terciptanya kebaikan bersama. Prinsip invisible hand ini semakin lama menjadi semakin jelas, jika kita mengamati bagaimana globalisasi terjadi. Globalisasi adalah suatu kenyataan yang tidak dapat kita tolak, dimana semua dari kita harus bersama-sama mengejar mamon (dewa kekayaan) . Dalam ekonomi global tersebut, kita semua terjerumus dalam logika self-interst.
Yang menjadi masalah dengan ekonomi berdasarkan self-interest adalah akibatnya bagi ordo sosial yang kita bangun: kita kembali pada kehidupan dimana setiap orang tidak saling kenal satu sama lain. Tindakan kriminal, perceraian, broken home, kekerasan , dan lain-lain hampir tidak pernah bebas dari motif untuk mengabdi mammon tersebut. Self-interest menjadi motif mendasar semua kehancuran tatanan sosial tersebut.
Terhadap masalah ini, Marx pun tidak dapat memberi jawaban yang memuaskan, karena ia salah dalam menafsirkan motif self-interest. Seharusnya Das kapital menyajikan dalam arti tertentu, motif individual untuk revolusi sosial. Karena, inti dari sejarah bukanlah pertentangan kelas, sebaliknya pertentangan nilai individual. Batu sandungan dari tindakan manusia adalh kehendak bebas manusia. Alexander Solzhenistyn mengatakan bahwa garis pemisah antara baik dan buruk tidak ditentukan oleh ideologi, filsafat, kelas masyarakat atau bangsa di mana kita dilahirkan, melainkan oleh hati manusia,
Jika demikian masalahnya, ekonomi sosial dapat menyajikan suatu resep ekonomi yang sehat hanya didukung oleh sisi lain dari self-interest, yaitu moralitas. Bertrand Russell pernah berkata: jika manusia secara aktual berkembang atas dasar self-interest, seluruh umat manusia harus bekerja sama. Moralitas manusia memiliki logika tersendiri. Ia tidak ditentukan oleh self-interest melainkan oleh apa yang harus dicapai oleh kemanusiaan. Yang dibutuhkan oleh kemanusiaan tidak lain adalah suatu kepercayaan yang existensi yang bermakna, kehidupanyang tidak dapat diukur oleh berapa banyak yang aku miliki tetapi oleh apa yang diciptakannya. Memberi perhatian pada masalah moralitas dalam ekonomi, berarti memberi peluang bagi ekonomi sosial untuk menjalankan fungsinya sebagai dokter bagi kemanusiaan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Sismondi berpendapat bahwa ekonomi tidak dibangun di atas perhitungan yang “bebas nilai”, melalui pendekatan matematik yang disimpulkan dari aksioma yang sangat umum, melainkan dibangun di atas study tentang manusia dan masyarakat. Dengan kata lain, ekonomi selalu berangkat dari sebuah konteks persoalan yang dihadapi manusia dan masyarakat. Ekonomi bukanlah ilmu matematis melainkan suatu ilmu moral, suatu ilmu yang memiliki tujuan menciptakan kesejahteraan manusia. Ilmu itu tidak cukup berbicara tentang angka, melainkan memfokuskan perhatiaannya pada perasaan, kebutuhan, dan hasrat manusia. Dengan fokus pehatian ini, Sismondi memandang ekonomi dari persoalan ekonomi politik bukan pertumbuhan ekonomi, yaitu bagaimana kekayaan tersebut dinikmati dan bagaimana penyebaran kekayaan itu terjadi dalam masyarakat. Bagi Sismondi, ekonomi harus menciptakan kebahagiaan manusia. Ia harus membangun dirinya menjadi ilmu untuk manusia, menggantikan ekonomi sebagai ilmu demi kekayaan. Ia berpendapat, bahwa kita akan keliru jika kita hanya memperhatikan kekayaan secara abstrak, kemudian bangga dengan angka yang menakjubkan tentang kekayaan tersebut.
Maka bagi Sismondi, yang paling penting dalam ekonomi adalah persoalan keadilan ekonomi; inti persoalannya adalah bagaimana mendorong agar kekayaa negara dinikmati oleh seluruh rakyat, termasuk oleh mereka yang miskin. Kriteria minimal untuk ini adalah terpenuhinya semua kebutuhan material pokok semua orang, terlebih oleh para pemilik perusahaan yang memperkerjakan banyak orang. Dengan pertimbangan ini, ekonomi, menurut Sismondi, tidak lain dari suatu manajemen untuk menciptakan kebahagiaan bagi semua orang. Peran pemerintah dalam hal ini tidak lebih dari pelindung kaum miskin, suatu cita-cita yang tak pernah terpikirkan dalam ekonomi Liberal berdasarkan Laissez-faire.
Sismondi dan Hobson menunjukkan, bahwa ekonomi sosial merupakan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada prinsip kebaikan bersama, di atasnya, produksi barang dan layanan dapat ditangani sedemikian rupa sehingga kemakmuran manusia dapat dimaksimalkan.
Dalam pemikiran ekonomi sosial, kebaikan bersama diartikan sama dengan kepentingan bersama anggota masyarakat. Secara lebih operasional, tugas ekonomi sosial adalah memberi kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk merealisasikan kepentingan bersama, sehingga kebutuhan dasarnya sebagai anggota masyarakat terpenuhi.
Ekonomi harus tunduk pada tujuan sosial, bukan pada tujuan egoistis. Ekonomi pada dasarnya memiliki dimensi moral, dalam arti memungkinkan pemuasan kebutuhan dasar, hormat terhadap martabat manusia dan keadilan sosial.
Bertindak rasional berarti bertindak berdasarkan pertimbangan yang masuk akal, baik mengenai sarana maupun mengenai tujuannya. Rasionalitas yang dimaksud di sini adalah rasioanlitas evaluatif, suatu rasionalitas yang menjelaskan bahwa suatu tindakan selalu berkaitan dengan nilai atau kepentingan bersama, atau lebih tepat lagi, kepentingan manusia pada umumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Sholihin, Ismail. 2014. Pengantar Bisnis. Jakarta : Erlangga
Heizer, Jay & Barry Render. 2009. Manajemen Operasi. Jakarta: Salemba Empat.
Achyari, Agus. 2014. Manajemen Operasi. Tangerang Selatan : Universitas Terbuka
Hasan, Irmayanti. 2011. Manajemen Operasional Perspektif Integratif. Malang : UIN-MALIKI PRESS

0 komentar:

Post a Comment