Sunday, 29 November 2015

Ijma' (Kesepakatan)


  1. Pendahuluan
Allah menurunkan kepada nabi Muhammad SAW berupa al-qur’an dan al-hadist untuk umatnya, sebagai pedoman hidup didunia. Didunia pasti terdapat masalah-masalah yang belum bisa terselesaikan dan belum ada nasnya. Kemudian dimasukkannya hukum-hukum yang disepakati oleh para sahabat nabi (ijma’) sehingga oleh jumhurul ulama’ disepakati bahwa salah satu sumber syariat islam adalah ijma’.
  1. Isi
Pengertian Ijma’
Secara etimologi ijma’ berasal dari kata Ajma’a, yujmi’u, ijma’atan, yang artinya bersetuju, bersatu pendapat, bersepakat.[1] Ijma’ menurut bahasa terbagi menjadi 2 makna: memutuskan, bermaksud atau berniat dan menyepakati sesuatu.
  1. Memutuskan, bermaksud atau berniat, dalam surat Yunus ayat 71:
Artinya:
“Dan bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).
Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku,”
  1. Kesepakatan atau menyepakati terhadap sesuatu, dalam surat Yusuf ayat 15:
Artinya:
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."

Perbedaan kedua arti ijma’ tersebut, yang pertama dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak bisa seseorang membuat kesepakatan dengan dirinya sendiri. Menurut istilah ijma adalah kesepakatan mujtahid umat islam tentang hukum syara dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Ijma’ menurut pengertian para ahli Ushul Fiqih adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di kalangan umat islam pada suatu masa ketika Rosululloh SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian.[2]
       Ijma’ berarti sepakat, setuju atau sependapat. Contoh mengenai ijma’ menjadikan sunah sebagai salah satu sumber hukum islam. Semua mujtahid seluruh umat islam sepakat (ijma’) menetapkan sunah sebagai salah satu sumber hukum islam. Ijma' secara umum adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.

Syarat-Syarat Ijma’
  1. Yang bersepakat adalah para mujtahid
Secara umum mujtahid merupakan para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’. Dan lebih ringkasnya lagi mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Jadi, orang yang awam atau yang belum mampu mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’, begitu juga penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum-hukum syara’. Ijma’ juga tidak bisa dilaksanakan oleh satu orang meskipun orang tersebut mampu.
  1. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak, belum bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ mencakup persetujuan dari keseluruhan mujtahid.
  1. Para mujtahid harus umat nabi Muhammad SAW
Umat nabi Muhammad SAW tersebut adalah mukallaf. Maksud dari mukallaf adalah muslim, berakal, dan sudah baligh. Ijma’ umat nabi Muhammad SAW telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
  1. Dilakukan setelah wafatnya nabi
Ijma’ tidak terjadi ketika nabi masih hidup, karena jika ada ijma’ nabi ikut menyepakatinya.
  1. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dll. Kesepakatan di khususkan pada masalah-masalah agama.

Macam-Macam Ijma’
Dilihat dari cara terjadinya ada dua macam yaitu:
  1. Ijma’ Sharih
Ijma’ sharih merupakan ijma’ yang hakiki, sekaligus dijadikan sebagai hujjah syar’iyah. Semua mujtahid mengemukakan pendapatnya masing-masing lalu menyepakati salah satunya.
  1. Ijma’ Sukuti
Ijma’ Sukuti, yaitu sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka secara jelas mengenai suatu kasus baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila, 1) Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan. Apabila terjadi kesepakatan oleh sebagian mujtahid maka disebut ijma’ sharih dan apabila terjadi penolakan maka tidak ada ijma’. 2) Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya dan cukup untuk mengemukakan pendapatnya. 3) Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid adalah permasalahan yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat zhanni. Seorang mujtahid tidak boleh mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil-dalil yang kuat, dan mujtahid yang lainnya hanya diam.[3]

Kehujjahan ijma’ menurut pandangan para ulama
Ø  Al-Bardawi berpendapat, bahwa orang-orang Hawa tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah, bahkan dalam syarah nya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara mutlak.
Ø  Al-Amidi berpendapat, para ulama telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib diamalkan.
Ø  Al-Hajib berpendapat, ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij, dan Syi’ah.
Ø  Ar-Rahawi berpendapat, ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah.


Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih merupakan hujjah secara qath’i, wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak boleh di ijtihadi lagi.[4] Dalil untuk memperkuat pendapat jumhur tentang kehujjahan ijma’.

Pertama, dalam surat An-Nisa ayat 115:

Artinya:
“Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Kehujjahan dalil dari ayat tersebut adalah ancaman dari Allah SWT terhadap mereka yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Jalan yang ditempuh orang-orang mukmin adalah hak dan wajib diikuti. Sedangkan jalan yang ditempuh oleh orang yang tidak beriman adalah bathil dan haram di ikuti. Dalil yang digunakan oleh jumhur diatas dibantah kehujjahannya dalam ijma’ bahwa yang dimaksud jalannya orang-orang mukmin diatas adalah pengikut Rasulullah SAW.

Kedua, dalam surat Al-Baqarah ayat 143:

Artinya:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya…”

Ketiga, dalam surat Al-Imran ayat 110:

Artinya:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Keempat, dalam surat Al-Imran ayat 103:

Artinya:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu…”

Kelima, dalam surat An-Nisa ayat 59:

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Keenam, hadist-hadist yang artinya:
Ø  “Kekuatan Allah berada pada jamaah, barang siapa menguatkan-Nya, maka ia telah menyempitkan dirinya dari neraka”
Ø  “Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkannya ijma’ pada kesesatan”
Ø  “Tidak akan berkumpul ijma’ pada hal yang salah”
Ø  “Tidak akan melihat kaum mukmin kepada kebaikan, kecuali Allah pun menganggapnya baik”

Dalil yang dikeluarkan Nidzam dan para pengikutnya:
Pertama, dalam surat An-Nisa ayat 59:

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Kedua, sesungguhnya nabi Muhammad SAW, ketika bertanya kepada Mu’adz bin Jabal tentang dalil yang akan dijadikan sandarannya, tidak disebutkan adanya ijma’ dan Rasul telah menyepakatinya. Kalau ijma’ sebagai hujjah maka harus ada ketetapan hukumnya dari Rasul, mengapa Rasul tidak menetapkan adanya ijma’.

Kehujjahan ijma’ sukuti
Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai ijma’, karena kesepakatan mereka terhadap hukum. Dengan demikian bisa dikatakan sebagai hujjah yang qath’i karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan dengan ijma’ sharih.


  1. Kesimpulan
Ijma’ berarti sepakat, setuju, sependapat atau menyepakati sesuatu. Ber-ijma’ juga ada syaratnya, yaitu yang bersepakat adalah para mujtahid yang berjumlah dua orang atau lebih, karena seseorang tidak bisa bersepakat dengan dirinya. Ijma’ terbagi menjadi dua macam, ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Ijma’ sharih adalah ijma’ yang hakiki, sekaligus dijadikan sebagai hujjah syar’iyah. Semua mujtahid mengemukakan pendapatnya masing-masing lalu menyepakati salah satunya, sedangkan ijma’ sukuti yaitu sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka secara jelas mengenai suatu kasus baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau menentang pendapat itu. Seorang mujtahid tidak boleh mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil-dalil yang kuat, dan mujtahid yang lainnya hanya diam. Para ulama memang berbeda-beda dalam berpendapat tentang ijma’.


  1. Daftar Pustaka
  • Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
  • Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dita Utama.
  • Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

                                                                                  




[1] Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. hlm.112

[2] Khallaf, Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dita Utama. hlm. 56.

[3] Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. hlm. 72-73.

[4] Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia. hlm. 73-74

0 komentar:

Post a Comment