- Pendahuluan
Allah
menurunkan kepada nabi Muhammad SAW berupa al-qur’an dan al-hadist untuk
umatnya, sebagai pedoman hidup didunia. Didunia pasti terdapat masalah-masalah
yang belum bisa terselesaikan dan belum ada nasnya. Kemudian dimasukkannya
hukum-hukum yang disepakati oleh para sahabat nabi (ijma’) sehingga oleh jumhurul
ulama’ disepakati bahwa salah satu sumber syariat islam adalah ijma’.
- Isi
Pengertian Ijma’
Secara
etimologi ijma’ berasal dari kata Ajma’a, yujmi’u, ijma’atan, yang artinya bersetuju,
bersatu pendapat, bersepakat.[1]
Ijma’ menurut bahasa terbagi menjadi 2 makna: memutuskan, bermaksud atau
berniat dan menyepakati sesuatu.
- Memutuskan, bermaksud atau berniat, dalam surat Yunus ayat 71:
Artinya:
“Dan
bacakanlah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada
kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan
peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku
bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)
sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku).
Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku,”
Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku,”
- Kesepakatan atau menyepakati terhadap sesuatu, dalam surat Yusuf ayat 15:
Artinya:
Maka
tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka
masukkan dia), dan (di waktu dia sudah dalam sumur) kami wahyukan kepada Yusuf:
"Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini,
sedang mereka tiada ingat lagi."
Perbedaan kedua arti ijma’ tersebut, yang
pertama dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua
dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak bisa seseorang membuat kesepakatan
dengan dirinya sendiri. Menurut
istilah ijma adalah kesepakatan mujtahid umat islam tentang hukum syara dari
peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Ijma’ menurut
pengertian para ahli Ushul Fiqih adalah kesepakatan seluruh para mujtahid di
kalangan umat islam pada suatu masa ketika Rosululloh SAW wafat atas hukum syara’
mengenai suatu kejadian.[2]
Ijma’ berarti sepakat, setuju atau
sependapat. Contoh mengenai ijma’ menjadikan sunah sebagai
salah satu sumber hukum islam. Semua mujtahid seluruh umat islam sepakat (ijma’)
menetapkan sunah sebagai salah satu sumber hukum islam. Ijma' secara umum adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum dalam
agama berdasarkan Al-Qur'an dan
Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
Syarat-Syarat Ijma’
- Yang
bersepakat adalah para mujtahid
Secara umum mujtahid merupakan para ulama
yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’. Dan
lebih ringkasnya lagi mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal,
mempunyai sifat terpuji dan mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya. Jadi,
orang yang awam atau yang belum mampu mencapai derajat mujtahid tidak bisa
dikatakan ijma’, begitu juga penolakan mereka. Karena mereka tidak ahli dalam
menelaah hukum-hukum syara’. Ijma’ juga tidak bisa dilaksanakan oleh satu orang
meskipun orang tersebut mampu.
- Yang
bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang
lainnya tidak, belum bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ mencakup persetujuan
dari keseluruhan mujtahid.
- Para
mujtahid harus umat nabi Muhammad SAW
Umat
nabi Muhammad SAW tersebut adalah mukallaf. Maksud dari mukallaf adalah muslim,
berakal, dan sudah baligh. Ijma’ umat nabi Muhammad SAW telah dijamin bahwa
mereka tidak mungkin ber-ijma’ untuk melakukan suatu kesalahan.
- Dilakukan
setelah wafatnya nabi
Ijma’
tidak terjadi ketika nabi masih hidup, karena jika ada ijma’ nabi ikut
menyepakatinya.
- Kesepakatan
mereka harus berhubungan dengan syari’at
Kesepakatan
mereka harus berhubungan dengan syari’at seperti tentang wajib, sunah, makruh,
haram dll. Kesepakatan di khususkan pada masalah-masalah agama.
Macam-Macam Ijma’
Dilihat
dari cara terjadinya ada dua macam yaitu:
- Ijma’
Sharih
Ijma’
sharih merupakan ijma’ yang hakiki, sekaligus dijadikan sebagai hujjah
syar’iyah. Semua mujtahid mengemukakan pendapatnya masing-masing lalu
menyepakati salah satunya.
- Ijma’
Sukuti
Ijma’
Sukuti, yaitu sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan pendapat mereka
secara jelas mengenai suatu kasus baik melalui fatwa atau suatu putusan hukum,
dan sisa dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut,
baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah dikemukakan atau
menentang pendapat itu. Ijma’ sukuti dikatakan sah apabila, 1) Diamnya para
mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan atau penolakan.
Apabila terjadi kesepakatan oleh sebagian mujtahid maka disebut ijma’ sharih
dan apabila terjadi penolakan maka tidak ada ijma’. 2) Keadaan diamnya para
mujtahid itu cukup lama yang bisa dipakai untuk memikirkan permasalahannya dan
cukup untuk mengemukakan pendapatnya. 3) Permasalahan yang difatwakan oleh
mujtahid adalah permasalahan yang bersumber dari dalil-dalil yang bersifat
zhanni. Seorang mujtahid tidak boleh mengeluarkan pendapat tanpa didasari
dalil-dalil yang kuat, dan mujtahid yang lainnya hanya diam.[3]
Kehujjahan ijma’ menurut
pandangan para ulama
Ø Al-Bardawi
berpendapat, bahwa orang-orang Hawa tidak menjadikan ijma’ itu sebagai hujjah,
bahkan dalam syarah nya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara
mutlak.
Ø Al-Amidi
berpendapat, para ulama telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang wajib
diamalkan.
Ø Al-Hajib
berpendapat, ijma’ itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam, Khawarij, dan
Syi’ah.
Ø Ar-Rahawi
berpendapat, ijma’ itu pada dasarnya adalah hujjah.
Kehujjahan ijma’ sharih
Jumhur
telah sepakat bahwa ijma’ sharih merupakan hujjah secara qath’i, wajib
mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’ pada suatu
permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak boleh di ijtihadi lagi.[4]
Dalil untuk memperkuat pendapat jumhur tentang kehujjahan ijma’.
Pertama,
dalam surat An-Nisa ayat 115:
Artinya:
“Dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Kehujjahan
dalil dari ayat tersebut adalah ancaman dari Allah SWT terhadap mereka yang
tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Jalan yang ditempuh orang-orang
mukmin adalah hak dan wajib diikuti. Sedangkan jalan yang ditempuh oleh orang
yang tidak beriman adalah bathil dan haram di ikuti. Dalil yang digunakan oleh
jumhur diatas dibantah kehujjahannya dalam ijma’ bahwa yang dimaksud jalannya
orang-orang mukmin diatas adalah pengikut Rasulullah SAW.
Kedua, dalam surat
Al-Baqarah ayat 143:
Artinya:
“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya…”
Ketiga, dalam surat
Al-Imran ayat 110:
Artinya:
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya
Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada
yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Keempat, dalam surat
Al-Imran ayat 103:
Artinya:
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah
berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu…”
Kelima, dalam surat
An-Nisa ayat 59:
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Keenam, hadist-hadist yang artinya:
Ø “Kekuatan Allah
berada pada jamaah, barang siapa menguatkan-Nya, maka ia telah menyempitkan
dirinya dari neraka”
Ø “Sesungguhnya Allah
tidak mengumpulkannya ijma’ pada kesesatan”
Ø “Tidak akan
berkumpul ijma’ pada hal yang salah”
Ø “Tidak akan melihat
kaum mukmin kepada kebaikan, kecuali Allah pun menganggapnya baik”
Dalil yang dikeluarkan Nidzam dan para pengikutnya:
Pertama,
dalam surat An-Nisa ayat 59:
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Kedua, sesungguhnya nabi Muhammad SAW, ketika bertanya
kepada Mu’adz bin Jabal tentang dalil yang akan dijadikan sandarannya, tidak
disebutkan adanya ijma’ dan Rasul telah menyepakatinya. Kalau ijma’ sebagai
hujjah maka harus ada ketetapan hukumnya dari Rasul, mengapa Rasul tidak
menetapkan adanya ijma’.
Kehujjahan ijma’ sukuti
Sebagian
besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa ijma’ sukuti
merupakan hujjah yang qath’i seperti halnya ijma’ sharih. Alasan mereka adalah
diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya terhadap
pendapat yang dikemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi
persyaratan adanya ijma’ sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang
kesepakatan mereka sehingga bisa dikatakan sebagai ijma’, karena kesepakatan
mereka terhadap hukum. Dengan demikian bisa dikatakan sebagai hujjah yang
qath’i karena alasannya juga menunjukkan adanya ijma’ yang tidak bisa dibedakan
dengan ijma’ sharih.
- Kesimpulan
Ijma’
berarti sepakat, setuju, sependapat atau menyepakati sesuatu. Ber-ijma’ juga
ada syaratnya, yaitu yang bersepakat adalah para mujtahid yang berjumlah dua
orang atau lebih, karena seseorang tidak bisa bersepakat dengan dirinya. Ijma’
terbagi menjadi dua macam, ijma’ sharih dan ijma’ sukuti. Ijma’ sharih adalah ijma’
yang hakiki, sekaligus dijadikan sebagai hujjah syar’iyah. Semua mujtahid
mengemukakan pendapatnya masing-masing lalu menyepakati salah satunya,
sedangkan ijma’ sukuti yaitu sebagian dari mujtahid suatu masa mengemukakan
pendapat mereka secara jelas mengenai suatu kasus baik melalui fatwa atau suatu
putusan hukum, dan sisa dari mereka tidak memberikan tanggapan terhadap
pendapat tersebut, baik merupakan persetujuan terhadap pendapat yang telah
dikemukakan atau menentang pendapat itu. Seorang mujtahid tidak boleh
mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil-dalil yang kuat, dan mujtahid yang
lainnya hanya diam. Para ulama memang berbeda-beda dalam berpendapat tentang
ijma’.
- Daftar Pustaka
- Syafe’i,
Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh.
Bandung: Pustaka Setia.
- Khallaf,
Abdul Wahab. 1994. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dita Utama.
- Syarifuddin, Amir. 1997. Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
0 komentar:
Post a Comment