KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim
Segala puji dan syukur kami
panjatkan hanya untuk Allah SWT yang telah memberikan anugerah kehidupan,
lindungan dan ilmu yang membuat kita lebih paham tujuan kita hidup di dunia.
Dan dengan Rahmat-Nya kami bisa menyusun makalah ini. Tak lupa Shalawat serta
salam selalu kita sampaikan kepada nabi Muhammad saw.yang telah memberikan
keteladan hidup dan akhlak yang terbaik bagi umatnya.
Kami juga mengucapkan terimakasih
banyak kepada pihak – pihak yang telah membantu proses pembuatan makalah ini,
diantaranya :
1.
Bapak M. Johan Nasrul Huda,S,Psi.,M.Si.
selaku Dosen Mata Kuliah Tauhid.
2.
Bapak dan Ibu kami yang telah
memberikan bantuan materiil dan non materiil
3.
Teman – teman fakultas Ilmu Sosial
dan Humaniora
4.
Pihak – pihak yang tidak bisa kami
sebu tkan satu persatu.
Dalam penulisan makalah kali ini, penulis
membahas tentang Hubungan Tasawuf dan Psikologi. Penulis berharap hasil tulisan ini mampu memberi
manfaat untuk pembaca sekalian. Seperti yang kita tahu sejak dahulu ilmuwan
sudah berupaya untuk melakukan perpaduan antara ilmu pengetahuan dengan agama.
Tidak hanya dalam sains, dalam ilmu terapan lain yang dianggap memiliki
kesamaan juga menjadi populer untuk disandingkan. Psikologi dengan taswauf
misalnya. Keduanya dipandang memilki kesepahaman dalam mengartikan manusia.
Pembahasan mengenai tasawuf dalam psikologi memang sudah menjadi trending topic
pada masa itu. Bukan hanya keberadaan tasawuf yang paling mendekati psikologi,
melainkan karena dua konsentrasi ini sejalan dengan perpaduan orientasi
pembahasan, yaitu antroposentris.
Banyak hal yang akan dikaji dalam
bab selanjutnya, terutama mengenai poin – poin yang sama antara tasawuf dan
psikologi. Dilihat dari cara pandang, nilai spiritual yang dikaji serta
pendapat yang mengokohkan keduanya.
Semoga apa yang tertulis dalam
makalah ini bermanfaat untuk penulis pribadi khususnya, dan umumnya untuk
pembaca sekalian. Penulis menyadari dalam penulisan
makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan, oleh karena
itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan guna penyempurnaan
penulisan selanjutnya. Atas dukungan dan kerjasama pembaca sekalian kami
ucapkan terimaksih.
Yogyakarta, Desember 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa
ini sangatlah pesat. Tak hanya dalam pengetahuan keagamaan saja, dalam ilmu
terapan lain juga banyak mengalami peningkatan. Baik munculnya hal atau
pendapat baru, maupun perpaduan ilmu yang mempunyai keterkaitan. Tasawuf dengan
psikologi misalnya, keduanya dianggap sebagai pengetahuan yang sama – sama
mengkaji manusia. Karakteristik, potensi yang dimiliki dan pengembangan
kemampuan tak lepas dari kajian pembahasan.
Perpaduan Psikologi dan tasawuf
dianggap pendekatan yang paling representatif. Bidang ini sudah sejak lama
mengorientasikan pusat objek kajian pada manusia (antroposentris). Meski
sebagian corak psikologi mempunyai pandangan berbeda mengenai manusia, namun
dalam perspektif yang terbaru saat ini yaitu humanistik dan transpersonal
membuktikan bahwa ada kesamaan dengan tasawuf. Dimana manusia dipercaya
mempunyai kemampuan untuk melakukan aktualisasi diri. Tak hanya itu, kajian
nilai spiritual juga bisa menjadi sorotan. Keduanya menempatkan agama menjadi bagian
dari kehidupan masyarakat.
1.2
Tasawuf berbicara tentang manusia
Tasawuf merupakan bidang kajian islam yang membahas jiwa dan
kejiwaan dalam bentuk tingkah laku manusia[1]. Gejala kejiwaan yang
dikaji dalam tasawuf lebih kompleks, karena dalam tasawuf membahas apa yang
dinamakan jiwa itu sendiri. Tasawuf sudah populer sejak zaman nabi, dimana para
pelakunya biasa disebut sufi. Para sufi memandang urusan dunia bukan lagi
kepentingan utama. Dari pengetahuan tasawuf mereka diajarkan mengalihkan
orientasi kehidupan. Mereka cenderung meninggikan
hal- hal batiniah di atas yang lahiriah, perkembangan spiritual dan
pembinaan jiwa.
Tasawuf memandang manusia memiliki
potensi yang luar biasa dalam pengembangan spiritual. Pengalaman spiritual setiap
orang tidak dapat disamakan dalam ilmu tasawuf. Masing – masing punya cara atau
jalan dalam menuju ke titik tertinggi kejiwaan. Ini juga yang melandasi tasawuf
sangat berpengaruh terhadap mentalitas yang meliputi semua unsur jiwa termasuk
pikiran, emosi, sikap, dan persaaan. Dalam perkembangannya tasawuf memandang
manusia terbagi menjadi 2, yaitu orang dengan mental sehat dan mental kurang
sehat. Kesemuanya itu sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam menghadapi
masalah.
Tasawuf mengajarkan sesorang agar
bisa memiliki mental sehat, dengan jalan pendekatan kepada Tuhan atau mengasah
nilai – nilai spiritual yang ada pada dirinya. Sehingga para pelaku sufi
diharapkan mampu mengatasi segala problematika yang menimpa dalam hidup. Tidak
lagi stress ketika mendapatkan cobaan, ataupun bingung jika mengatasi
peselisihan. Tasawuf dianggap sebagai solusi dalam pengembangan kejiwaan.
1.3
Psikologi berbicara manusia
Menurut Dakir (1993), Psikologi adalah
membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya. Sehingga bisa dikatakan
bahwa pembahasan psikologi lebih
berorientasi pada antroposentris, manusia menjadi objek utama yang dikaji. Ilmu
Psikologi sudah dikenalkan sejak akhir tahun 1800an, dimana dalam masa itu
masih banyak serangan atau ketidaksetujuan atas teori sebelumnya. Upaya
penyempurnaan akan pandangan terhadap manusia hingga kini masih diperdebatkan.
Hakikat manusia itu sendiri sampai detik ini belum bisa dijelaskan secara umum
diterima orang banyak.
Sampai akhir abad keduapuluh,
terdapat empat aliran besar psikologi yakni Psikoanalisis, Perilaku (Behaviorisme),
Humanistik, dan Transpersonal. Masing-masing aliran melihat manusia dari sudut
pandang berbeda, dan dengan cara tertentu mereka berhasil menentukan asas
tentang kehidupan manusia, sehingga mampu membangun teori tentang manusia.
Aliran Psikoanalisis dipelopori oleh
Freud (1856 – 1939). Freud berpendapat bahwa kepribadian manusia terdiri atas
tiga sistem yaitu Id (prinsip kenikmatan), Ego (prinsip realitas), dan Superego
(kesadaran normatif)[2].
Selain dari itu, manusia juga memiliki tiga tingkatan kesadaran yaitu Alam
Sadar (The Conscious), Alam Prasadar (The Preconscious), dan Alam
Taksadar (The Unconscious). Namun demikian, manusia masih sangat besar
dipengaruhi oleh alam tak sadar yang mendorong pada keinginan akan kenikmatan
dan kekuasaan. Sehingga dalam Psikoanalisis mennganggap bahwa pada hakikatnya
manusia adalah makhluk yang terdiri dari naluri agresi dan seksual.
Aliran Perilaku (Behaviorisme)
beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya netral, baik buruknya perilaku
seseorang dipengaruhi oleh situasi dan perlakuan yang dialaminya. Dalam
kehidupan sehari – hari manusia dapat dilakukan pembentukan kebiasaan,
perubahan sikap, dan penertiban sosial. Hal ini tak ubahnya mengasumsikan
manusia seperti halnya hewan. Dimana jika ada stimulus, maka respon yang
dihasilkan dapat ditebak. Mengutip pendapat dari Hanna Djumhana B dalam
bukunya, “Upaya rekayasa dan kondisi lingkungan luar
adalah hal yang paling mempengaruhi dan menentukan kepribadian manusia.”.[3]
Aliran psikologi Humanistik
memandang manusia berbeda dengan Psikoanalisa dan Behaviorisme. Perspektif
Humanistik lebih menganggap manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi
baik. Mempunyai kemampuan untuk melakukan aktualisasi diri. Sekalipun manusia
itu terlahir dari benih seorang penjahat, bukan berarti dalam dirinya tidak
mengandung unsur kebaikan. Begitu pula individu yang terlanjur hidup dalam
lingkungan jelek, tidak lantas mencap kepribadian individu tersebut akan
terbawa. Asumsi utamanya yang digunakan dalam memandang manusia bahwa manusia
memiliki otoritas atas kehidupan dirinya sendiri.
Aliran Tanspersonal berpandangan
bahwa manusia memiliki potensi-potensi luhur (the highest potentials)
dan fenomena kesadaran (states of consciousness)[4].
Potensi luhur yang dimaksud adalah kemampuan manusia dalam mengembangkan nilai
yang ada pada dirinya. Sedangkan fenomena kesadaran lebih mengarah pada
keruhanian, pengalaman mistis dll. Transpersonal menunjukkan terdapat banyak dimensi yang luar biasa potensial di
luar kesadaran.
Semua aliran yang dijelaskan diatas
adalah aliran yang paling popular. Biasa dikenal dengan empat aliran besar
psikologi. Dari semuanya sudah banyak menjelaskan tentang hakikat manusia.
meski belum sepenuhnya reperesentatif atau disepakati bersama namun dalam batas
pengetahuan kita wajib untuk mengkajinya. Dan kedepannya kita dapat menemukan
makna sesungguhnya tentang manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Tasawuf dalam psikologi
Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, tasawuf menjadi kajian yang dianggap memiliki kesamaan dalam
Psikologi, meskipun terdapat perbedaan dari tahun kemunculan dan asal - muasalnya. Tasawuf sudah dikenal sejak zaman
Nabi dan terus berkembang menjadi pengetahuan yang turun temurun diwariskan di
wilayah timur (Arab). Berbeda dengan psikologi, meski tergolong ilmu baru, namun
perkembangannya begitu pesat. Banyak pembelajar di seluruh dunia yang berusaha
untuk ikut mendalami materi didalamnya.
Seiring bertambah pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan, dan mulai dikenalnya tasawuf di kalangan dunia
luar, maka ada semacam asumsi bahwa terdapat keterkaitan antara tasawuf dan
psikologi. Bisa dikatakan tasawuf adalah psikologi di zaman dahulu.
Dalam pembahasan ini, penulis akan
menyampaikan salah satu kajian dalam tasawuf. Dengan tujuan agar selanjutnya
pembaca lebih mudah dalam memahami apa yang dimaksudkan. Yakni mengenai maqomat
dan ahwal. Maqomat adalah jalan spiritual yang harus dilalui
para sufi dalam mencapai tujuan idealnya yaitu kembali kepada Tuhan[5]. sedangkan ahwal
adalah keadaan atau karakter spiritual yang diberikan oleh Tuhan ketika
sesorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqom tertentu[6]. Secara umum maqom dapat
diartikan sebagai kedudukan manusia di mata Allah swt. Bagaimana ia menjalani
kehidupan, apa saja yang sudah dilakukan dan lain-lain. Ahwal sendiri lebih
merujuk pada pemberian yang Allah berikan, bisa datang dan pergi kapan Allah
kehendaki. Wujud nyata dari keduanya adalah berupa rasa tenang ketika
menghadapi cobaan, khusyu dalam beribadah dan sebagainya.
2.2
Tasawuf dan Psikologi Humanistik
Yang menonjol dari humanistik adalah
adanya pengakuan terhadap basic needs (kebutuhan dasar), Self-Actualization
(aktualisasi diri) dan peak experience (pencapaian pengalaman puncak).
Intinya dalam humanistik maupun tasawuf semuanya bermuara pada kebaikan. Dalam
tasawuf kebaikan yang dimaksud adalah Tuhan. Psikologi Humanistik dan tasawuf sudah
menjadi dua materi yang berkaitan. Beberapa hal di dalamnya saling sambung. Ada
juga yang berasumsi eksisitensi mereka adalah upaya penyempurnaan akan jawaban
hakikat manusia. Terlepas dari opini, setidaknya ada beberapa persamaan dan
perbedaan keduanya. Berikut adalah perbandingan
yang ada pada 2 disiplin ilmu tersebut.
A.
Potensi Dasar Manusia (fitrah)
Tasawuf
dan Psikologi Humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang suci, dimana
setiap perbuatan memiliki kecenderungan untuk senantiasa berbuat baik. Dalam ajaran
tasawuf Allah adalah sumber kebaikan dan kebenaran yang mutlak, sehingga ketika
manusia itu beribadah kepada Allah maka ia dianggap mendekati kebaikan. Ajaran
ini dibenarkan oleh Abraham Maslow dalam teorinya[7].
Namun
tak dipungkiri juga manusia memiliki keingainan kearah kejahatan dikarenakan
berbagai rangsangan dari luar atau lingkungan. Abraham Maslow berpendapat ketika
manusia bertahan dan cenderung memilih kebaikan maka itu akan mengarahkannya
pada selangkah mendekati aktualisasi diri, begitu sebaliknya. Menurut pandangan
sufisme orang yang memilih melakukan keburukan akan dikenal dengan buruk
akhlaknya. Namun jika seseorang lebih cenderung dan memutuskan pada kebaikan
maka orang tersebut akan mencapai derajat pengalaman spiritual yang sering kita
sebut maqamat dan ahwal.
Upaya
aktualisasi diri sangat diperlukan bagi manusia. tak hanya untuk menikmati
kehidupan sendiri, melainkan untuk bersosialisasi bahkan digunakan untuk
menjaga keseimbangan alam. Aktualisasi diri merupakan proses dimana seserang
tidak lagi berorientasi pada kebutuhan dasar, mulai memfokuskan pada apa yang
dia bisa perbuat untuk sekitar. Bagi pribadi, aktualisasi diri adalah
pengontrol keinginan yang berlebihan (nafsu). Setiap manusia memiliki potensi
ini, dan sangat dimungkinkan memiliki.
Sayangnya
beberapa ajaran tasawuf meyakini bahwa apa yang manusia lakukan adalah wujud
kasih sayang Tuhan, tak terkecuali dalam bentuk kebaikan atau keburukan.
Terlepas segala perbuatan adalah kehendak murni sendiri, namun sufisme yakin
ada campur tangan Tuhan (Takdir) dalam penentuan setiap perbuatan. Tentu inilah
yang menjadi pembeda untuk dua disiplin ilmu ini.
B.
Konsep Perkembangan Jiwa
Potensi
– potensi yang ada pada manusia sangatlah luar biasa. Manusia bebas berekspresi
dan melakukan sesuatu di dunia ini. Selain didukung dengan bentuk fisik yang
sempurna, manusia juga dibekali dengan akal. Inilah yang menjadikan manusia
berbeda dengan makhluk yang lain. Pun dengan konsepsi perkembangan jiwa, ia
akan selalu berkembang seiring dengan pengalaman hidup orang tersebut.
Manusia
memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan hidupnya. Menuju kearah kebaikan
atau sebaliknya. Dalam pandangan Maslow orang yang menuju kearah keburukan
dipengaruhi oleh kurangnya motivasi (deficiency motivation) atau bisa juga
karena kebutuhan dasar yang rendah (deficiency needs). Kondisi demikian sejalan
dengan pandangan tasawuf, yaitu konsep nafs al-ammarah(dorongan atau
kecenderungan rendah)[8]. Jika dorongan ini tidak
terpenuhi maka akan menimbulkan permasalahan berupa penyakit mental yang
menjauhkan dari proses aktualisasi diri.
C.
Karakter perkembangan Jiwa
Karakter
perkembangan jiwa lebih merujuk pada konsep awal masing-masing ilmu. Tasawuf
dengan maqomat dan ahwal-nya, sedangkan psikologi humanistik dengan self
actualization, peak experience dan metamotivation (bagian dari basic
needs). Maqomat berada setara dengan
self actualization, dan ahwal bersama dengan peak experience dan
metamotivation.
Dalam
struktur maqomat masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, perbedaan
ini bergantung pada pelaku tasawuf, sedang berada di level mana pengalaman
hidupnya. Perilaku yang ditampilkan pada maqomat tertentu dapat pula dijelaskan
sebagai wujud aktualisasi dirinya. Sebagai contoh ketika pada maqom taubat,
seseorang akan mampu mengontrol stabilitas nafsunya untuk tidak mengulang lagi
perbuatan buruknya. Dalam Humanistik inilah yang dimaksudkan sebagai wujud
aktualisasi dirinya karena bertindak atas kemampuan dirinya.
Konsep
ahwal memiliki banyak kesamaan karakter dengan metamotivation dan peak
experience. Meski menjurus kepada perasaan yang abstrak namun, tak bisa
dinafikan jika kesamaan konsep ini tetap ada. Contoh dalam konsep mahabbah
(cinta). Cinta yang dimaksud bukan cinta yang direkayasa, melainkan cinta yang
sebenar-benarnya yang merupakan panggilan hati. Kondisi seperti ini akan
membuat manusia berusaha melakukan yang terbaik untuk yang dicintainya,
berusaha setia, saling mengerti dan sebagainya. Ini juga bentuk aktualisasi
diri dalam teori maslow.
Selain
adanya persamaan, terdapat pula perbedaan bagi keduanya. Untuk mengetahui perbedaan antara maqomat dan
aktualisasi diri dan pengalaman puncak dapat dilihat tabel berikut.
No.
|
Maqomat dan Ahwal
|
Self Actualization, Peak
Experience Dan Metamotivation
|
1
|
Proses yang harus dilalui menuju kesempuranaan
diri
|
Sebagai tujuan akhir
|
2
|
Struktur hirarkis kedalaman
spiritual sesorang
|
Kesatuan karakter yang ada pada
seseorang
|
3
|
Bersifat hirarkis yang membutuhkan
pemenuhan syarat untuk naik ke level selanjutnya
|
Bersifat satu keastuan yang
otomatis dimiliki keselurahan
|
4
|
Berdasarkan nilai ajaran agama
|
Berdasarkan kebutuhan dasar(basic
needs)
|
5
|
Mengedepankan wahyu sebagai
pengendali
|
Mengedepankan potensi yang ada
pada manusia
|
6
|
Tujuan akhir adalah Allah
|
aktualisasi diri dari manusia
|
7
|
Epistemologi (subjektif)
|
Epistemologi (berdasarkan
lapangan, penelitaian dan klinis)
|
8
|
Penggerak berasal kemauan bebas
manusia tetapi juga berasal dari kehendak sang illahi
|
Penggerak kehendak manusia itu
sendiri
|
2.3
Tasawuf dan Psikologi Transpersonal
Tidak banyak yang dibahas hubungan Psikologi Transpersonal dengan
tasawuf, selain corak psikologi ini masih baru dan
merupakan pengembangan dari humanistik, masih banyak hal yang belum digali di
dalamnya. Namun ada satu titik dimana keduanya berkaitan yakni dalam banyak membicarakan
tentang karakter manusia ideal atau manusia
sempurna dan jalan yang harus ditempuh untuk meraihnya[9] .
Senada dengan tasawuf yang juga membahas tetang maqomat dan ahwal dalam
proses menuju kesempurnaan. Karakter kesempurnaan yang dimaksudkan juga banyak
menyerupai kesamaan.
Kunci Psikologi Transpersonal terletak pada dua hal yaitu : highest
potential atau potensi luhur yang ada pada setiap manusia. Dan pada state of consciousness (fenomena
kesadaran) yang mengarah pada keruhanian, pengalaman mistis dll. Transpersonal
menunjukkan terdapat banyak dimensi yang
luar biasa potensial di luar kesadaran. Seperti halnya tasawuf yang juga membahas pada
keruhanian.
Tasawuf menggunakan istilah insan
kamil untuk sebutan sosok manusia yang mencapai derajat kesempurnaan. Sedangkan
dalam psikologi lebih dikenal dengan istilah manusia ideal.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Yang
membedakan dengan psikologi hanya pada ruang lingkup pembahasan. Tasawuf
dianggap lebih kompleks dari psikologi. Namun begitu, tasawuf tetap menjadi
komponen penting dalam pengembangan psikologi. Psikologi klasik tidak menyentuh
sama sekali tentang nilai spiritual yang ada pada manusia. Gejala kejiwaan yang
dimiliki individu diabaikan, padahal gejala kejiwaan mempunyai andil besar
dalam mempengaruhi watak, tingkah laku, dan pandangan manusia.
Tasawuf dengan psikologi mempunyai
hubungan yang sangat erat. Karena tasawuf memberikan kemudahan untuk manusia
dalam mengembangkan potensi kepribadian dan orientasi kehidupan. Walaupun
memiliki hubungan yang sangat erat, namun kajian ilmu tasawuf lebih luas
dibandingkan ilmu psikologi. Pembahasan mengenai ruh misalnya, dalam tasawuf
roh atau hal ruhaniah menjadi kredit tersendiri dalam manusia yang mana bagian
ini yang tidak dibahas dalam psikologi.
Setiap manusia mempunyai daya untuk
melakukan hal yang baik atau jahat sekalipun. Tasawuf dan Psikologi sepakat
mengenai hal tersebut. Sebagai contoh
kasus seseorang yang cenderung untuk
berbuat keburukan, dalam tasawuf berarti tipe orang ini sudah terbawa oleh nafsu dan tidak lagi
mengedepankan nilai akal sehat dan hati nurani. Orang ini juga kan dicap
sebagai orang yang buruk ahlaknya. Menurut pandangan psikologi orang tersebut
akan mengalami masalah batin baik dalam dirinya sendiri maupun dengan oramg
lain (masyarakat).
Jelas sudah bahwa psikologi dan
tasawuf mempunyai kesamaan dan keterkaitan. Selain sama – sama bersifat
antroposentris, objek pembahsannya juga sama, yakni mengenai kejiwaan manusia.
3.2
Saran – Saran
Dari pembahasan yang sudah penulis
paparkan ada beberapa saran yang dapat diambil, sebagai peminat atau pembelajar
psikologi tidak hanya terpaku pada teori yang datang dari barat. Ternyata dari
timur pun sudah dikenalkan akan materi kejiwaan. Dengan semangat integrasi dan
interkoneksi sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu membuka wawasan (open
minded) terhadap pengetahuan baru, sekalipun hanya bentuk perpaduan.
DAFTAR PUSTAKA
Djumhana B, Hanna. 2005. Integrasi
Psikologi Dengan Islam, Menuju Psikologi Islami.Yogyakarta :
Pustaka Pelajar
Riyadh, Saad. 2004. Jiwa Dalam Pandangan Rasulullah.
Jakarta: Gema Insani
Adz-Dzakiey , Hamdani Bakran.2008.Psikologi Kenabian. Yogyakarta : Almanar
Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu
Tasawuf . Jakarta : Amzah
Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Simuh.1996. Tasawuf Dan Perkembangan Dalam Islam.
Jakarta Utara : Rajawali Pers
Tohir, Moenir Nahrowi. 2012 . Menjelajahi Eksistensi Tasawuf . Jakarta Selatan : PT As-Salam Sejahtera
Toriquddin. 2008. Sekularitas
Tasawuf. Malang : Sukses Offset Uin Malang Pers
As, Asmaran. 1994. Pengantar
Studi Tasawuf . Jakarta :
Rajawali Pers
Tebba, Sudirman. 2003. Tasawuf Positif. Jakarta :
Kencana
Siregar, Rivay. 1999. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta :
Rajawali Pers
0 komentar:
Post a Comment