Saturday, 19 April 2014

Hubungan Tasawuf dan Psikologi

KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirrohim

Segala puji dan syukur kami panjatkan hanya untuk Allah SWT yang telah memberikan anugerah kehidupan, lindungan dan ilmu yang membuat kita lebih paham tujuan kita hidup di dunia. Dan dengan Rahmat-Nya kami bisa menyusun makalah ini. Tak lupa Shalawat serta salam selalu kita sampaikan kepada nabi Muhammad saw.yang telah memberikan keteladan hidup dan akhlak yang terbaik bagi umatnya.

Kami juga mengucapkan terimakasih banyak kepada pihak – pihak yang telah membantu proses pembuatan makalah ini, diantaranya :

1.      Bapak M. Johan Nasrul Huda,S,Psi.,M.Si. selaku Dosen Mata Kuliah Tauhid.
2.      Bapak dan Ibu kami yang telah memberikan bantuan materiil dan non materiil
3.      Teman – teman fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
4.      Pihak – pihak yang tidak bisa kami sebu tkan satu persatu.

Dalam penulisan makalah kali ini, penulis membahas tentang Hubungan Tasawuf dan Psikologi. Penulis  berharap hasil tulisan ini mampu memberi manfaat untuk pembaca sekalian. Seperti yang kita tahu sejak dahulu ilmuwan sudah berupaya untuk melakukan perpaduan antara ilmu pengetahuan dengan agama. Tidak hanya dalam sains, dalam ilmu terapan lain yang dianggap memiliki kesamaan juga menjadi populer untuk disandingkan. Psikologi dengan taswauf misalnya. Keduanya dipandang memilki kesepahaman dalam mengartikan manusia. Pembahasan mengenai tasawuf dalam psikologi memang sudah menjadi trending topic pada masa itu. Bukan hanya keberadaan tasawuf yang paling mendekati psikologi, melainkan karena dua konsentrasi ini sejalan dengan perpaduan orientasi pembahasan, yaitu antroposentris.
Banyak hal yang akan dikaji dalam bab selanjutnya, terutama mengenai poin – poin yang sama antara tasawuf dan psikologi. Dilihat dari cara pandang, nilai spiritual yang dikaji serta pendapat yang mengokohkan keduanya.
Semoga apa yang tertulis dalam makalah ini bermanfaat untuk penulis pribadi khususnya, dan umumnya untuk pembaca sekalian. Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan, oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami butuhkan guna penyempurnaan penulisan selanjutnya. Atas dukungan dan kerjasama pembaca sekalian kami ucapkan terimaksih.





Yogyakarta, Desember 2013
Penulis




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini sangatlah pesat. Tak hanya dalam pengetahuan keagamaan saja, dalam ilmu terapan lain juga banyak mengalami peningkatan. Baik munculnya hal atau pendapat baru, maupun perpaduan ilmu yang mempunyai keterkaitan. Tasawuf dengan psikologi misalnya, keduanya dianggap sebagai pengetahuan yang sama – sama mengkaji manusia. Karakteristik, potensi yang dimiliki dan pengembangan kemampuan tak lepas dari kajian pembahasan.
Perpaduan Psikologi dan tasawuf dianggap pendekatan yang paling representatif. Bidang ini sudah sejak lama mengorientasikan pusat objek kajian pada manusia (antroposentris). Meski sebagian corak psikologi mempunyai pandangan berbeda mengenai manusia, namun dalam perspektif yang terbaru saat ini yaitu humanistik dan transpersonal membuktikan bahwa ada kesamaan dengan tasawuf. Dimana manusia dipercaya mempunyai kemampuan untuk melakukan aktualisasi diri. Tak hanya itu, kajian nilai spiritual juga bisa menjadi sorotan. Keduanya menempatkan agama menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.

1.2  Tasawuf berbicara tentang manusia
Tasawuf merupakan  bidang kajian islam yang membahas jiwa dan kejiwaan dalam bentuk tingkah laku manusia[1]. Gejala kejiwaan yang dikaji dalam tasawuf lebih kompleks, karena dalam tasawuf membahas apa yang dinamakan jiwa itu sendiri. Tasawuf sudah populer sejak zaman nabi, dimana para pelakunya biasa disebut sufi. Para sufi memandang urusan dunia bukan lagi kepentingan utama. Dari pengetahuan tasawuf mereka diajarkan mengalihkan orientasi kehidupan. Mereka cenderung meninggikan  hal- hal batiniah di atas yang lahiriah, perkembangan spiritual dan pembinaan jiwa.
Tasawuf memandang manusia memiliki potensi yang luar biasa dalam pengembangan spiritual. Pengalaman spiritual setiap orang tidak dapat disamakan dalam ilmu tasawuf. Masing – masing punya cara atau jalan dalam menuju ke titik tertinggi kejiwaan. Ini juga yang melandasi tasawuf sangat berpengaruh terhadap mentalitas yang meliputi semua unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap, dan persaaan. Dalam perkembangannya tasawuf memandang manusia terbagi menjadi 2, yaitu orang dengan mental sehat dan mental kurang sehat. Kesemuanya itu sangat mempengaruhi perilaku seseorang dalam menghadapi masalah.
Tasawuf mengajarkan sesorang agar bisa memiliki mental sehat, dengan jalan pendekatan kepada Tuhan atau mengasah nilai – nilai spiritual yang ada pada dirinya. Sehingga para pelaku sufi diharapkan mampu mengatasi segala problematika yang menimpa dalam hidup. Tidak lagi stress ketika mendapatkan cobaan, ataupun bingung jika mengatasi peselisihan. Tasawuf dianggap sebagai solusi dalam pengembangan kejiwaan.

1.3  Psikologi berbicara manusia
Menurut Dakir (1993), Psikologi adalah membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya. Sehingga bisa dikatakan bahwa pembahasan  psikologi lebih berorientasi pada antroposentris, manusia menjadi objek utama yang dikaji. Ilmu Psikologi sudah dikenalkan sejak akhir tahun 1800an, dimana dalam masa itu masih banyak serangan atau ketidaksetujuan atas teori sebelumnya. Upaya penyempurnaan akan pandangan terhadap manusia hingga kini masih diperdebatkan. Hakikat manusia itu sendiri sampai detik ini belum bisa dijelaskan secara umum diterima orang banyak.
Sampai akhir abad keduapuluh, terdapat empat aliran besar psikologi yakni Psikoanalisis, Perilaku (Behaviorisme), Humanistik, dan Transpersonal. Masing-masing aliran melihat manusia dari sudut pandang berbeda, dan dengan cara tertentu mereka berhasil menentukan asas tentang kehidupan manusia, sehingga mampu membangun teori tentang manusia.
Aliran Psikoanalisis dipelopori oleh Freud (1856 – 1939). Freud berpendapat bahwa kepribadian manusia terdiri atas tiga sistem yaitu Id (prinsip kenikmatan), Ego (prinsip realitas), dan Superego (kesadaran normatif)[2]. Selain dari itu, manusia juga memiliki tiga tingkatan kesadaran yaitu Alam Sadar (The Conscious), Alam Prasadar (The Preconscious), dan Alam Taksadar (The Unconscious). Namun demikian, manusia masih sangat besar dipengaruhi oleh alam tak sadar yang mendorong pada keinginan akan kenikmatan dan kekuasaan. Sehingga dalam Psikoanalisis mennganggap bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang terdiri dari naluri agresi dan seksual.
Aliran  Perilaku (Behaviorisme) beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya netral, baik buruknya perilaku seseorang dipengaruhi oleh situasi dan perlakuan yang dialaminya. Dalam kehidupan sehari – hari manusia dapat dilakukan pembentukan kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban sosial. Hal ini tak ubahnya mengasumsikan manusia seperti halnya hewan. Dimana jika ada stimulus, maka respon yang dihasilkan dapat ditebak. Mengutip pendapat dari Hanna Djumhana B dalam bukunya, “Upaya rekayasa dan kondisi lingkungan luar adalah hal yang paling mempengaruhi dan menentukan kepribadian manusia.”.[3]
Aliran psikologi Humanistik memandang manusia berbeda dengan Psikoanalisa dan Behaviorisme. Perspektif Humanistik lebih menganggap manusia pada dasarnya memiliki potensi-potensi baik. Mempunyai kemampuan untuk melakukan aktualisasi diri. Sekalipun manusia itu terlahir dari benih seorang penjahat, bukan berarti dalam dirinya tidak mengandung unsur kebaikan. Begitu pula individu yang terlanjur hidup dalam lingkungan jelek, tidak lantas mencap kepribadian individu tersebut akan terbawa. Asumsi utamanya yang digunakan dalam memandang manusia bahwa manusia memiliki otoritas atas kehidupan dirinya sendiri.
Aliran Tanspersonal berpandangan bahwa manusia memiliki potensi-potensi luhur (the highest potentials) dan fenomena kesadaran (states of consciousness)[4]. Potensi luhur yang dimaksud adalah kemampuan manusia dalam mengembangkan nilai yang ada pada dirinya. Sedangkan fenomena kesadaran lebih mengarah pada keruhanian, pengalaman mistis dll. Transpersonal menunjukkan terdapat  banyak dimensi yang luar biasa potensial di luar kesadaran.
Semua aliran yang dijelaskan diatas adalah aliran yang paling popular. Biasa dikenal dengan empat aliran besar psikologi. Dari semuanya sudah banyak menjelaskan tentang hakikat manusia. meski belum sepenuhnya reperesentatif atau disepakati bersama namun dalam batas pengetahuan kita wajib untuk mengkajinya. Dan kedepannya kita dapat menemukan makna sesungguhnya tentang manusia.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Tasawuf dalam psikologi
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tasawuf menjadi kajian yang dianggap memiliki kesamaan dalam Psikologi, meskipun terdapat perbedaan dari tahun kemunculan dan asal -  muasalnya. Tasawuf sudah dikenal sejak zaman Nabi dan terus berkembang menjadi pengetahuan yang turun temurun diwariskan di wilayah timur (Arab). Berbeda dengan psikologi, meski tergolong ilmu baru, namun perkembangannya begitu pesat. Banyak pembelajar di seluruh dunia yang berusaha untuk ikut mendalami materi didalamnya.
Seiring bertambah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, dan mulai dikenalnya tasawuf di kalangan dunia luar, maka ada semacam asumsi bahwa terdapat keterkaitan antara tasawuf dan psikologi. Bisa dikatakan tasawuf adalah psikologi di zaman dahulu.
Dalam pembahasan ini, penulis akan menyampaikan salah satu kajian dalam tasawuf. Dengan tujuan agar selanjutnya pembaca lebih mudah dalam memahami apa yang dimaksudkan. Yakni mengenai maqomat dan ahwal. Maqomat adalah jalan spiritual yang harus dilalui para sufi dalam mencapai tujuan idealnya yaitu kembali kepada Tuhan[5]. sedangkan ahwal adalah keadaan atau karakter spiritual yang diberikan oleh Tuhan ketika sesorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqom tertentu[6]. Secara umum maqom dapat diartikan sebagai kedudukan manusia di mata Allah swt. Bagaimana ia menjalani kehidupan, apa saja yang sudah dilakukan dan lain-lain. Ahwal sendiri lebih merujuk pada pemberian yang Allah berikan, bisa datang dan pergi kapan Allah kehendaki. Wujud nyata dari keduanya adalah berupa rasa tenang ketika menghadapi cobaan, khusyu dalam beribadah dan sebagainya.

2.2  Tasawuf  dan Psikologi Humanistik
Yang menonjol dari humanistik adalah adanya pengakuan terhadap basic needs (kebutuhan dasar), Self-Actualization (aktualisasi diri) dan peak experience (pencapaian pengalaman puncak). Intinya dalam humanistik maupun tasawuf semuanya bermuara pada kebaikan. Dalam tasawuf kebaikan yang dimaksud adalah Tuhan. Psikologi Humanistik dan tasawuf sudah menjadi dua materi yang berkaitan. Beberapa hal di dalamnya saling sambung. Ada juga yang berasumsi eksisitensi mereka adalah upaya penyempurnaan akan jawaban hakikat manusia. Terlepas dari opini, setidaknya ada beberapa persamaan dan perbedaan keduanya.  Berikut adalah perbandingan yang ada pada 2 disiplin ilmu tersebut.

A.    Potensi Dasar Manusia (fitrah)
Tasawuf dan Psikologi Humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang suci, dimana setiap perbuatan memiliki kecenderungan untuk senantiasa berbuat baik. Dalam ajaran tasawuf Allah adalah sumber kebaikan dan kebenaran yang mutlak, sehingga ketika manusia itu beribadah kepada Allah maka ia dianggap mendekati kebaikan. Ajaran ini dibenarkan oleh Abraham Maslow dalam teorinya[7].
Namun tak dipungkiri juga manusia memiliki keingainan kearah kejahatan dikarenakan berbagai rangsangan dari luar atau lingkungan. Abraham Maslow berpendapat ketika manusia bertahan dan cenderung memilih kebaikan maka itu akan mengarahkannya pada selangkah mendekati aktualisasi diri, begitu sebaliknya. Menurut pandangan sufisme orang yang memilih melakukan keburukan akan dikenal dengan buruk akhlaknya. Namun jika seseorang lebih cenderung dan memutuskan pada kebaikan maka orang tersebut akan mencapai derajat pengalaman spiritual yang sering kita sebut maqamat dan ahwal.
Upaya aktualisasi diri sangat diperlukan bagi manusia. tak hanya untuk menikmati kehidupan sendiri, melainkan untuk bersosialisasi bahkan digunakan untuk menjaga keseimbangan alam. Aktualisasi diri merupakan proses dimana seserang tidak lagi berorientasi pada kebutuhan dasar, mulai memfokuskan pada apa yang dia bisa perbuat untuk sekitar. Bagi pribadi, aktualisasi diri adalah pengontrol keinginan yang berlebihan (nafsu). Setiap manusia memiliki potensi ini, dan sangat dimungkinkan memiliki.
Sayangnya beberapa ajaran tasawuf meyakini bahwa apa yang manusia lakukan adalah wujud kasih sayang Tuhan, tak terkecuali dalam bentuk kebaikan atau keburukan. Terlepas segala perbuatan adalah kehendak murni sendiri, namun sufisme yakin ada campur tangan Tuhan (Takdir) dalam penentuan setiap perbuatan. Tentu inilah yang menjadi pembeda untuk dua disiplin ilmu ini.
B.     Konsep Perkembangan Jiwa
Potensi – potensi yang ada pada manusia sangatlah luar biasa. Manusia bebas berekspresi dan melakukan sesuatu di dunia ini. Selain didukung dengan bentuk fisik yang sempurna, manusia juga dibekali dengan akal. Inilah yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk yang lain. Pun dengan konsepsi perkembangan jiwa, ia akan selalu berkembang seiring dengan pengalaman hidup orang tersebut.
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan hidupnya. Menuju kearah kebaikan atau sebaliknya. Dalam pandangan Maslow orang yang menuju kearah keburukan dipengaruhi oleh kurangnya motivasi (deficiency motivation) atau bisa juga karena kebutuhan dasar yang rendah (deficiency needs). Kondisi demikian sejalan dengan pandangan tasawuf, yaitu konsep nafs al-ammarah(dorongan atau kecenderungan rendah)[8]. Jika dorongan ini tidak terpenuhi maka akan menimbulkan permasalahan berupa penyakit mental yang menjauhkan dari proses aktualisasi diri.

C.     Karakter perkembangan Jiwa
Karakter perkembangan jiwa lebih merujuk pada konsep awal masing-masing ilmu. Tasawuf dengan maqomat dan ahwal-nya, sedangkan psikologi humanistik dengan self actualization, peak experience dan metamotivation (bagian dari basic needs). Maqomat berada setara dengan  self actualization, dan ahwal bersama dengan peak experience dan metamotivation.
Dalam struktur maqomat masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda, perbedaan ini bergantung pada pelaku tasawuf, sedang berada di level mana pengalaman hidupnya. Perilaku yang ditampilkan pada maqomat tertentu dapat pula dijelaskan sebagai wujud aktualisasi dirinya. Sebagai contoh ketika pada maqom taubat, seseorang akan mampu mengontrol stabilitas nafsunya untuk tidak mengulang lagi perbuatan buruknya. Dalam Humanistik inilah yang dimaksudkan sebagai wujud aktualisasi dirinya karena bertindak atas kemampuan dirinya.
Konsep ahwal memiliki banyak kesamaan karakter dengan metamotivation dan peak experience. Meski menjurus kepada perasaan yang abstrak namun, tak bisa dinafikan jika kesamaan konsep ini tetap ada. Contoh dalam konsep mahabbah (cinta). Cinta yang dimaksud bukan cinta yang direkayasa, melainkan cinta yang sebenar-benarnya yang merupakan panggilan hati. Kondisi seperti ini akan membuat manusia berusaha melakukan yang terbaik untuk yang dicintainya, berusaha setia, saling mengerti dan sebagainya. Ini juga bentuk aktualisasi diri dalam teori maslow.
Selain adanya persamaan, terdapat pula perbedaan bagi keduanya. Untuk  mengetahui perbedaan antara maqomat dan aktualisasi diri dan pengalaman puncak dapat dilihat tabel berikut.
No.
Maqomat dan Ahwal
Self Actualization, Peak Experience Dan Metamotivation
1
Proses yang harus dilalui menuju kesempuranaan diri
Sebagai tujuan akhir
2
Struktur hirarkis kedalaman spiritual sesorang
Kesatuan karakter yang ada pada seseorang
3
Bersifat hirarkis yang membutuhkan pemenuhan syarat untuk naik ke level selanjutnya
Bersifat satu keastuan yang otomatis dimiliki keselurahan
4
Berdasarkan nilai ajaran agama
Berdasarkan kebutuhan dasar(basic needs)
5
Mengedepankan wahyu sebagai pengendali
Mengedepankan potensi yang ada pada manusia
6
Tujuan akhir adalah Allah
aktualisasi diri dari manusia
7
Epistemologi (subjektif)
Epistemologi (berdasarkan lapangan, penelitaian dan klinis)
8
Penggerak berasal kemauan bebas manusia tetapi juga berasal dari kehendak sang illahi
Penggerak kehendak manusia itu sendiri

2.3  Tasawuf dan Psikologi Transpersonal
Tidak banyak yang dibahas hubungan Psikologi Transpersonal dengan tasawuf, selain corak psikologi ini masih baru dan merupakan pengembangan dari humanistik, masih banyak hal yang belum digali di dalamnya. Namun ada satu titik dimana keduanya berkaitan yakni dalam banyak membicarakan tentang karakter manusia ideal atau manusia  sempurna dan jalan yang harus ditempuh untuk meraihnya[9] . Senada  dengan tasawuf yang  juga membahas tetang maqomat dan ahwal dalam proses menuju kesempurnaan. Karakter kesempurnaan yang dimaksudkan juga banyak menyerupai kesamaan.
Kunci Psikologi Transpersonal terletak pada dua hal yaitu : highest potential atau potensi luhur yang ada pada setiap manusia. Dan  pada state of consciousness (fenomena kesadaran) yang mengarah pada keruhanian, pengalaman mistis dll. Transpersonal menunjukkan terdapat  banyak dimensi yang luar biasa potensial di luar kesadaran. Seperti halnya tasawuf yang juga membahas pada keruhanian.
Tasawuf menggunakan istilah insan kamil untuk sebutan sosok manusia yang mencapai derajat kesempurnaan. Sedangkan dalam psikologi lebih dikenal dengan istilah manusia ideal.




BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Yang membedakan dengan psikologi hanya pada ruang lingkup pembahasan. Tasawuf dianggap lebih kompleks dari psikologi. Namun begitu, tasawuf tetap menjadi komponen penting dalam pengembangan psikologi. Psikologi klasik tidak menyentuh sama sekali tentang nilai spiritual yang ada pada manusia. Gejala kejiwaan yang dimiliki individu diabaikan, padahal gejala kejiwaan mempunyai andil besar dalam mempengaruhi watak, tingkah laku, dan pandangan manusia.
Tasawuf dengan psikologi mempunyai hubungan yang sangat erat. Karena tasawuf memberikan kemudahan untuk manusia dalam mengembangkan potensi kepribadian dan orientasi kehidupan. Walaupun memiliki hubungan yang sangat erat, namun kajian ilmu tasawuf lebih luas dibandingkan ilmu psikologi. Pembahasan mengenai ruh misalnya, dalam tasawuf roh atau hal ruhaniah menjadi kredit tersendiri dalam manusia yang mana bagian ini yang tidak dibahas dalam psikologi.
Setiap manusia mempunyai daya untuk melakukan hal yang baik atau jahat sekalipun. Tasawuf dan Psikologi sepakat mengenai hal tersebut.  Sebagai contoh kasus  seseorang yang cenderung untuk berbuat keburukan, dalam tasawuf berarti tipe orang  ini sudah terbawa oleh nafsu dan tidak lagi mengedepankan nilai akal sehat dan hati nurani. Orang ini juga kan dicap sebagai orang yang buruk ahlaknya. Menurut pandangan psikologi orang tersebut akan mengalami masalah batin baik dalam dirinya sendiri maupun dengan oramg lain (masyarakat).
Jelas sudah bahwa psikologi dan tasawuf mempunyai kesamaan dan keterkaitan. Selain sama – sama bersifat antroposentris, objek pembahsannya juga sama, yakni mengenai kejiwaan manusia.

3.2  Saran – Saran
Dari pembahasan yang sudah penulis paparkan ada beberapa saran yang dapat diambil, sebagai peminat atau pembelajar psikologi tidak hanya terpaku pada teori yang datang dari barat. Ternyata dari timur pun sudah dikenalkan akan materi kejiwaan. Dengan semangat integrasi dan interkoneksi sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu membuka wawasan (open minded) terhadap pengetahuan baru, sekalipun hanya bentuk perpaduan.



DAFTAR PUSTAKA
Djumhana B, Hanna. 2005. Integrasi Psikologi Dengan Islam, Menuju Psikologi Islami.Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Riyadh, Saad. 2004. Jiwa Dalam Pandangan Rasulullah. Jakarta: Gema Insani
Adz-Dzakiey , Hamdani Bakran.2008.Psikologi Kenabian. Yogyakarta : Almanar
Amin, Samsul  Munir. 2012. Ilmu Tasawuf . Jakarta : Amzah
Muhammad, Hasyim. 2002. Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Simuh.1996. Tasawuf Dan Perkembangan Dalam Islam. Jakarta Utara : Rajawali Pers
Tohir, Moenir Nahrowi. 2012 . Menjelajahi Eksistensi Tasawuf . Jakarta Selatan : PT As-Salam Sejahtera
Toriquddin. 2008. Sekularitas Tasawuf. Malang : Sukses Offset Uin Malang Pers
As, Asmaran. 1994. Pengantar Studi Tasawuf . Jakarta : Rajawali Pers
Tebba, Sudirman. 2003. Tasawuf Positif. Jakarta : Kencana
Siregar, Rivay. 1999. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme. Jakarta : Rajawali Pers

0 komentar:

Post a Comment